Senin, 01 Februari 2010
pemberdayaan masyarakat timur
LAPORAN NEED ASSESMENT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT
NUSA TENGGARA TIMUR
A. PENDAHULUAN:
Timor dalam Perspektif Sejarah
Nusa Tenggara Timor berada di Timur gugusan zamrud khatulistiwa kepulauan Indonesia. Berdirinya Timor berawal sebelum kedatangan Portugis. Konon di Kupang ada sebuah kapal bangsa asing yang telah mengunjungi Kupang. Awal kapal asing ini turun ke darat untuk berkenalan dengan penguasa Pribumi, yang tinggal tidak jauh dari muara sungai. Nahkoda dan awak kapal asing ini disambut dengan ramah oleh penguasa Pribumi.
Sambutan ramah yang diberikan membuat rombongan tersebut terkesan. Mereka kemudian menghadiahkan sebuah kendi yang berukir indah. Nahkoda kapal berkata kepada penduduk pribumi sambil berkata “Cupa”. Penguasa pribumi menerima hadiah yang diterima tersebut dengan gembira sambil menirukan ucapan nahkoda kapal asing tersebut. Walhasil mulai dari waktu itulah sang penguasa pribumi tanah Helong yang menerima dan menyimpan Cupa menamainya Nai Cupa, dari ucapan ini kemudian berubah menjadi Kopa, Kopan, kemudian Kupang.
Sebenarnya masih ada beberapa versi yang menceritakan awal mula bersirinya pulau ini, namun cerita ini dianggap paling mendekati kebenaran karena beberapa alasan. Pertama, kata Kopa atau Kopan tidak pernah ada dalam bahasa Helong maupun bahasa Dawan dimana para penguasa negeri berada waktu itu. Nai Kupan ( merupakan ucapan Dawan). Sedangkan Lai Kopan merupakan ucapan orang Helong.
Berdasarkan penelitian bahasa, ternyata Cupa berasal dari bahasa Spanyol dan Inggris Kuno, Cupa atau Cuppe, yang artinya kendi berukir indah yang biasanya memang dijadikan sebagai cindera mata. Sehingga kemungkinan besar Nahkoda dan rombongan tersebut berasal dari Spanyol. Namun perlu menjadi catatan bahwa pada masa penguasaan Portugis maupun Belanda, Kupan ditulis dan diucapkan dalam lima versi yaitu Cupao, Coupan, Cupam, Kopan, dan Koepang.
Dari beberapa catatan sejarah menuliskan bahwa pulau Timor sudah dikenal sejak abad ketujuh, hal ini disebabkan karena kayu cendananya yang berkualitas baik. Dikisahkan, bahwa waktu itu banyak sekali pedagang dari Malaka, Gujarat, Jawa dan Makasar, serta pedagang dari negri Cina telah melakukan kontak dagang secara langsung dengan raja-raja Timor, yang mengawasi penebangan kayu cendana di daerah pedalaman.
Selanjutnya dokumen Cina tahun l5 yang ditulis oleh Chau Ju Kua, menuliskan bahwa pulau Timor biasa disebut dengan nama Tiwu sangat kaya dengan kayu cendana. Pada waktu kekuasaan kerajaan Hindu-Jawa di Kediri telah mampu menjangkau Raja-raja Timor dan membayar upeti mereka dengan kayu cendana kepada raja di Kediri. Begitu juga dalam buku Negarakertagama, tahun l365 mencatat bahwa Timor yang terkenal dengan hasil cendananya termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit.
Dokumen Cina yang lain, ditulis oleh Hsing-cha Shenglan, menyebutkan bahwa di Kih-ri Timun (yakni pulau Timor) waktu itu terdapat dua belas tempat penampungan kayu cendana, disebut dengan twelve ports ormercantile establisment, each under a chief (dua belas pelabuhan/kelompok kegiatan perdagangan, yang masing-masing dibawah pengawasan seorang pemimpin). Adapun duabelas tempat tersebut antara lain adalah: Kupang, Naikliu, Oekusi, Atapupu, Betun, Boking, Kolbano, Bitan, Elo Abi, Bijeli, Oepoli, dan Nefokoko. Dari ke tempat inilah pedagang Cina dan Jawa mengangkut kayu cendana ke Kediri, Sumatra (Sriwijaya), jazirah Melayu (Malaka), dan Asia lainnya. Sejak itu Timor dikenal dengan nama ‘Timor Pulau Cendana’. Sistem perdagangan yang digunakan-pun masih menggunakan sistem barter, dengan barang pengganti seperti tembikar, manik, Sutera, barang-barang atau peralatan dari besi yakni sebangsa kapak, parang, pisau dan sebagainya.
Pada tahun l5l0 Portugis berhasil merebut Goa di pantai Barat India Tengah, dan pada tahun l5ll Malaka menjadi pusat perdagangan Asia Tenggara berhasil direbut pula. Untuk misi perdagangan dan agama, maka Portugis mulai melakukan ekspansi ke arah Timur, yakni Maluku yang termasyur karena rempah-rempahnya, dan Solor (Flores) yang termasyur dengan kayu Cendananya. Tahun l5ll armada Ferdinand Magellan (dua kapal) singgah di Alor dan Timor (Kupang). Dalam penyebrangan ke selat Pukuafu, kedua kapal ini tertimpa badai, salah satu kapal karam dan hancur. Salah satu jangkar raksasa kapal ini hingga kini masih ada di pantai Rote. Satu lainnya berhasil lolos dari amukan ombak melanjutkan perjalanan ke Sabu, kemudian ke Tanjung Harapan dan kembali ke Spanyol. Karena lolos dari amukan gelombang di Pantai Rote itu, maka kapal tersebut dikenal dengan nama kapal ‘Victory’.
Pada waktu VOC dibubarkan pada th l799, segala hak dan kewajiban Indonesia diambil alih oleh pemerintah Belanda. Peralihan ini tidak membawa perubahan apapun , karena pada waktu itu Balanda menghadapi perang yang dilancarkan oleh negara tetangga. Belanda waktu itu masih dikuasai oleh pemerintah boneka dari kekaisaran Perancis dibawah Napoleon. Keadaan ini dimanfaatkan Inggris untuk memperluas jajahannya dengan merebut jajahan Belanda.
Armada Inggrispun mengganggu semua daerah kekuasaan Belanda di Indonesia, sehingga pada tahun l799 hampir seluruh wilayah Indonesia (kecuali Jawa, Palembang, Banjarmasin dan Timor) dalam kekuasaan Inggris. Dua kapal Inggris memasuki pelabuhan Kupang pada l0 Juni l797, namun berhasil dipukul mundur oleh Greving yang mengarahkan pada mardijkers. Kira-kira tahun 1800, Komisaris Fiskal bernama Doser diutus dari Makasar ke Kupang untuk menyelidiki keadaan keuangan VOC. Akan tetapi ketika Doser sampai di Kupang ia segera diperintahkan untuk kembali dan tugasnya diambil alih oleh pejabat lain yang bernama Lofsteth. Namun tahun tak lama Lofsteth meninggal. Posisi ini kemudian digantikan oleh Hazart, seorang Belanda yang lahir di Kupang tahun 1773. Dibawah kepemimpinannya Belanda berhasil membatasi wilayah gerak Portugis sampai awal abad XIX. Penguasaan ini akhirnya berdampak terhadap kehidupan agama dan kultural di Timor. Kupang dan sekitarnya (Pulau Timor bagian barat) lebih banyak memeluk agama Kristen dengan bahasa dan dialek yang sangat kental dengan pengaruh bahasa Belanda. Contoh kata ‘tidak’ dalam bahasa Kupang adalah ‘sonde’ dari kata ‘sonder’ dalam bahasa Belanda. Semakin ke arah Timor menuju Attambua (Perbatasan Timor leste) mayoritas penduduk memeluk agama Katholik dengan pengaruh bahasa dari Portugis. Namun di daerah pesisir, dimana dahulu banyak bermukim pedagang Islam dari Gujarat, Pakistan dan sekitarnya masih banyak memeluk agama Islam.
Islam pesisir ini memiliki basis religio politik santri yang masih melekat kuat dalam politik aliran, mereka kebanyakan terdominasi dalam faham ahlu sunnah wal jamaah yang bersumber dari aliran Nahdatul Ulama (NU). Pemahaman mereka terhadap sumber-sumber simbolik yang berakar dari NU itu menimbulkan pluralitas kaum di kalangan Nahdliyin. Karena ternyata tak seluruhnya intensif menggumuli gerakan sufisme. Praxis serta pandangan yang mereka pahami tentang Islam memang masih belum begitu luas. Dalam kasus ini trikotomi Geertz yang membuat trikotomi Islam menjadi santri bagi mereka yang taat beragama, varian abangan dengan animisme dan varian priyayi yang dianggap kental dengan Hinduismenya yang nilainya sebagai penciri organisasi yang kurang taat beragama tidak berlaku. Namun Islam masih tetap bisa berekspresi karena tingkat toleransi antara masyarakat yang sangat tinggi.
B. PROFIL DAERAH NUSA TENGGARA TIMOR
Secara geografis, Nusa Tenggara Timor merupakan propinsi kepulauan. Ada 566 pulau besar dan kecil serta ratusan etnis yang mempunyai bahasa, dialek serta ritual sendiri-sendiri. Beberapa pulau besar antara lain Flores, Sumba dan Timor. Dan pulau-pulau kecil seperti Alor, Pantan, Lomben, Sabu, Rote, Sawu dan lain-lain. Pulau-pulau ini pada masa pemerintahan Belanda merupakan bagian kepulauan Sunda Kecil “Klein Soendaelanden” bersama dengan pulau Bali, Lombok dan Sumbawa.
Tahun l950 kepulauan Sunda Kecil diangkat menjadi propinsi oleh Peraturan Pemerintah RI N0 21, tahun 1950. Kemudian pada tahun 1954 nama Sunda Kecil diganti dengan nama Propinsi Nusa Tenggara berdasarkan Undang-undang Darurat N0 9 tahun 1954. Berikutnya tahun 1958 Propinsi Nusa Tenggara dijadikan tiga daerah tingkat I, yaitu Daerah Tingkat I Bali, Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat dan Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur, yang selanjutnya disebut NTT, berdasarkan Undang-Undang N0 64 tahun 1958. Dan ditetapkan dalam lembaran negara N0 115.
NTT mempunyai 12 Kabupaten Daerah Tingkat II, meliputi Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Manggarai, Ngadha, Endhe, Sikka, Flores Timur, Alor, Sumba Barat, dan Sumba Timur. NTT sering juga disebut dengan Flobamor yang sebenarnya merupakan kependekan dari Flores, Sumba dan Timor. Dengan daerah seluas 47.695 Km persegi panjang, Timor terletak antara 80º3 dan diantara bujur timur llºl LS serta l8º33 dan 125º.
Dengan kondisi geografis seperti diatas, manusia NTT banyak hidup dari bercocok tanam dengan berkebun, berladang maupun bertani. Tentunya disamping hasil laut yang memberi penghidupan lebih dari seperlima penduduknya melalui penangkapan ikan serta budidaya tanaman laut, terutama di perairan Rote, Alor dan Timor. Sistim perladangan dapat dijumpai di Sumba dan Timor. Sistim ini memang sangat bergantung pada konsentrasi curah hujan, sebab itulah mereka memilih hidup nomaden atau berpindah-pindah, karena kehidupan mereka sangat bergantung dengan kesuburan tanah. Dalam bahasa Timor dikenal dengan Rene feut dan Rene tetas, atau nomaden dengan maksud mengembalikan kesuburan tanah. Perpindahan biasanya dimulai dengan pembakaran. Pararel dengan itu terdapat sistim peternakan. Kambing domba, kerbau, kambing termasuk babi merupakan ciri ekonomi peternakan di NTT.
Manusia NTT mempunyai ciri fisik dengan tanda Negrito-Melanesia. Terlebih pada bagian timur pulau Flores dan bagian tengah serta Timor-Timur. Namun untuk daerah Flobamor mereka lebih banyak memperlihatkan tipe Melayu, Polinesia dan Veda Austroloid.
Dalam pengorganisasian sosial masyarakat NTT terpilah-pilah berdasarkan adat yang berbeda-beda pula. Adat bukan hanya digunakan sebagai ritual kepercayaan, namun juga digunakan dalam pola-pola kemasyarakatan termasuk untuk perlindungan dan konservasi alamnya. Misalnya Talas dan Banu di Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS). Talas adalah larangan pengambilan hasil hutan dan satwa liar dalam hutan serta air, yang ditetapkan lewat sumpah adat dan penyembelihan hewan besar dimana kepala hewan tersebut akan digantung di daerah larangan. Bagi pelanggar, akan mendapat hukuman dengan membayar kerugian sebesar biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut. Sedangkan Banu diberlakukan untuk tanaman milik perorangan dengan aturan dan sanksi yang sama.
Rote dikenal dengan adanya Papadak. Rote dengan 18 wilayah persekutuan adatnya masing-masing mempunyai organisasi perlindungan dan pelestraian alam yang disebut Lala. Lala terdiri dari orang-orang yang berasal dari klan (suku) berbeda dalam satu nusak (Wilayah persekutuan adat) yang melindungi dan melestarikan sumber-sumber air dengan hutan buatan yang disebut mamar. Dari pembuatan mamar hingga pemanfaatan dan pembagian hasil diatur dengan aturan adat yang disebut Papadak, ditetapkan oleh lala dan disahkan dalam rapat adat yang disebut Hoholok.
Di Sumba Timur dikenal aturan adat yang dan sebagainya Weri, yaitu aturan adat tentang perlindungan ikan tertentu di muara, pengambilan ikan harus dilakukan setahun sekali yakni bulan Oktober dan hanya dalam waktu sehari. Sedangkan aturan untuk menjaga sumber mata air agar bebas dari penggunaan untuk pertanian serta pemukiman yang berlebihan disebut Mata wai marapu.
Secara demografis, dapat dikatakan struktur sosial masyarakat NTT adalah masyarakat majemuk yang segregatif. Dalam struktur seperti ini sangat terbuka untuk terjadi konflik horizontal berdasarkan katagori askritif dalam masyarakat lokal. Kerentanan struktur sosial berkarakter segregatif ini tergambar jelas dari perjalanan sejarah NTT yang selalu diwarnai dengan pertengkaran raja-raja kecil yang berbasis etnik maupun subetnik. Perebutan biasanya berkisar pada penguasaan atas tanah termasuk hutan dan gunung. Harmoni biasanya hanya bisa tercapai ketika muncul kekuasaan besar yang hegemonik dan dominatif. Dalam sejarah NTT itu diambil oleh Belanda dan Pemerintahan Republik Indonesia pasca kolonial.
C. PEMETAAN WILAYAH NEED ASSESSMENT
Dalam NA yang dilakukan selama 10 hari, observasi dilakukan di beberapa tempat antara lain SoE, di Wilayah Kabupaten Timur Tengan Selatan, dengan alasan antara lain, Pertama, SoE masih mempunyai struktur adat yang cukup kuat, begitu juga adanya upacara ritual yang masih dianggap sakral. Kedua, SoE secara geografis terletak di tengah pulau Timor. Tidak terlalu jauh dari Kupang sebagai pusat Kota serta akses transportasi yang tersedia cukup memadai (perjalanan kurang lebih 3 jam dengan bis jurusan Attambua). Ketiga, SoE mempunyai begitu banyak sumberdaya alam yang sudah dilirik beberapa investor, bahkan sampai sekarang masih merupakan dilema. Antara lain Kasus Marmer, Cendana, dan hilangnya buah apel dari struktur pertanian TTS. Keempat, disini masi banyak orang-orang yang dahuilu berkedudukan sebagai pemangku adat, sehingga dapat memberikan informasi yang valid terhadap penelitian ini. Kelima, TTS dan SoE khususnya mempunyai begitu banyak etnis dengan beraneka macam ritualnya yang sampai sekarang masih berlaku, begitu juga dengan hukum adatnya masih ditaati oleh sebagian besar warganya. Keenam,masih banyak peninggalan-peninggalan sejarah yang bisa dijadikan titik awal pemberdayaan masyarakat adat, baik pola berkomunitas maupun institusi-institusi adat yang masih sangat dihormati masyarakatnya.
Begitu juga dengan Amarazi, beberapa alasan untuk memilih daerah ini sebagai salah satu tempat untuk dikungjungi adalah, Pertama, di Amarazi, tepatnya di Baung adalah merupakan pusat kerajaan Amarazi. Kedua, masih dapat diketahui bekas-bekas peninggalan kerajaan, Fetor maupun Temukung. Antara lain Sonaf (Rumah Raja), lopo ( tempat musyawarah). Ketiga, banyak struktur adat amarasi yang masih dipakai dalam struktur pemerintahan sekarang. Keempat, masih ada beberapa Fetor yang masih hidup. Antara lain J.B Abineno. Fetor turunan ke di Oekebiti, ibukota kecamatan Amarazi. Kelima, Amarazi terletak tidak jauh dari ibukota propinsi Kupang, masyarakatnya memang sudah mulai plural, namun disatu sisi kekuasaan pemangku adat masih memegang peranan penting dalam struktur dan status sosial masyarakat Amarazi. Keenam, di Buraeng, salah satu Kefetoran di Amarazi ada konflik tentang pemasangan ‘radar’ oleh pemerintah.
D. BASIS KOMUNITAS
Masyarakat di kepulauan Timor, mempunyai basis komunitas yang berbeda-beda. Orang TTS akan mempunyai basis komunitas yang berbeda dengan orang Kupang, Belu ataupun Rote. Penduduk Rote dan Amarazi melandaskan basis komunitas mereka berdasarkan tempat tumbuh pohon tuak. Ini disebabkan karena basis ekonomi mereka tergantung pada komoditi dari hasil menyadap nira lontar.
Dengan komunitas ini mereka membentuk sutu sistem kekerabatan melalui perkawinan, kebutuhan untuk berkolaborasi karena kepentingan ekonomi (pemasaran hasil produksi) maupun untuk kepentingan sosiologis kultural. Orang Timor awam dalam perantauan akan menyebut mereka ‘orang darat’. Secara fisik mereka lebih banyak didominasi oleh keturunan melayu dan Jawa. Orang-orang ini akhirnya menguasai struktur ekonomi NTT secara keseluruhan dibanding dengan orang meto. Karena mereka jelas mempunyai akses transportasi dan informasi yang luas dan kesempatan yang lebih besar.
Sedangkan TTS, dan sekitarnya mempunyai basis komunitas dengan pengelolaan ladang, dan pemilikan pohon cendana. Tentunya ini didasari dengan mata pencaharian mereka adalah peternak dan sebagian petani. Akses ekonomi mereka lebih didominasi oleh hasil perkebunan terutama jeruk dan pisang, serta hasil ternak. Orang TTS biasa disebut dengan orang ‘Meto’. Komunitas yang ada didasarkan atas marga nama kerajaan mereka, (Amanatun, Amanuban, dan Mollo). Dari cara berpakaian maupun logat dalam berbicara orang akan dapat membedakan secara pasti apakah seseorang berasal dari Amanatun, Amanuban atau Mollo.
Basis komunitas ini diperekuat dengan faktor sosio-kultural masyarakat setempat. Ikatan-ikatan lebih lanjut yang melandasi suatu komunitas disamping sistim kekerabatan ada beberapa hal antara lain, pertama, Ikatan adat. Keterikatan yang sama dalam adat dan tuntutan adat membuat semua warga masyarakat berfikir secara kolektif dan saling bersosialisasi. Kewajiban mengambil bagian dalam upacara adat serta kegiatan bersama menjauhkan masyarakat dari sikap apatis.
Kedua, keterikatan karena agama. Upacara ritual keagamaan memaksa orang untuk melakukan komunikasi antara masyarakat termasuk masyarakat dengan roh nenek moyangnya, roh pendiri suku dan ilahi. Mereka sangat menekankan adanya keharmonisan masyarakat yang dipraktekkan dalam penyembahan dan ritual adat untuk kepentingan permohonan dan ucapan syukur dan pemulihan. Tujuannya adalah melestarikan hubungan sekaligus mengharapkan agar orang mati dapat dikembalikan dalam persekutuan roh nenek moyang.
Ketiga, suatu upaya pencegahan konflik, cemburu serta kebencian antar anggota masyarakat. Pola ini dilakukan dengan cara kolektif mulai dari cara berpakaian, kesenian, pesta maupun ibadah. Kesamaan dan keseragaman ini diatur secara jelas oleh adat dan diwariskan temurun. Adat ini tidak boleh diselewengkan, meskipun dalam perjalanannya semangat kolektivitas ini terancam oleh modernisasi dan kemajuan zaman.
E. STRUKTUR PEMERINTAHAN
Sudah bukan menjadi rahasia umum, penyeragaman sistim pemerintahan desa dengan Undang-Undang No 5 Tahun l974 berdampak negatif terhadap pola kekuasaan yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat sendiri. Studi mengenai hubungan ekonomi politik negara dan masyarakat desa sampai sekarangpun masih dihadapkan pada pemikiran yang menganggap bahwa politik dan struktur ekonomi pedesaan kurang memiliki daya tarik. Namun belakangan isu ini menjadi booming di kalangan ilmu pemerintahan dan politisi seiring dengan kehadiran Undang-Undang No tahun 1999.
Pasalnya dalam Undang-Undang ini menjanjikan adanya pengembalian hak-hak masyarakat adat termasuk pola maupun bentuk pemerintahan. Dan undang-undang ini juga menjamin adanya perbedaan adat-istiadat termasuk dalam struktur pemerintahan. Terutama pada pasal 15 tentang pemerintahan desa. Namun kurun waktu yang sangat lama menyebabkan rasa pesimis masyarakat dalam undang-undang ini, efek birokratisasi yang dibangun pemerintah terdahulu sudah terpatri.
E.1. Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)
TTS merupakan salah satu dari 4 kabupaten propinsi NTT yang dikenal sebagai penghasil Cendana terbesar, daerah ini mempunyai luas 4333,6 Km² dengan kepadatan penduduk 74/ Km². Jumlah penduduk wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Struktur Pemeritahannya dibagai dalam 162 desa, 4 kelurahan, 8 kecamatan dan 6 perwakilan kecamatan. (sebelum perubahan). Cuaca umum wilayah TTS adalah 4 bulan basah (Desember-April), dan 8 bulan kering (April-November). Rata-rata curah hujan 1,716 mm/tahun. Suhu udara pada musim dingin (juli-Agustus) sekitar 18-21ºC.
Sekitar 2500 ha tanah yang ada di NTT digunakan untuk persawahan. Sedangkan untuk peternakan atau penggembalaan mencapai posisi paling banyak yaitu seluas 44.908 ha. Untuk lamtoro seluas 41.374 ha, 180.000 ha lainnya adalah tanah kritis. Daerah aliran sungai (DAS) yang terkenal di TTS antaranya adalah dataran Mina, Bnain, Muke, Bone, dan Tumutu. Sedangkan dataran lainnya yang luas dan potensial adalah Bena, Baus, Tatukopa, Konbaki dan Besana.
Kedudukan kabupaten TTS berbatasan dengan, sebelah utara adalah Kabupaten TTU (Timur Tengan Utara) dan Ambenu (Timor Leste). Sebelah selatan dengan lautan Indonesia, sebelah timur dengan Kabupaten Belu dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang. Nama Kabupaten Timor Tengan Selatan merupakan terjemahan dari pemberian nama oleh Belanda ‘Zuid Midden Timor’ (ZMT).
Keberadaan orang-orang dan kebudayaan di wilayah TTS tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan Dawan, karena mereka adalah penduduk asli TTS. Dalam masyarakat Dawan umumnya pemukiman dimulai dari pola keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang disebut UME. UME yang ada akan membentuk klen kecil yang disebut Pulunes, baru terbentuk kemudian klen besar atau biasa disebut Kanaf. Dalam struktur sosial TTS, masyarakat golongan Usif merupakan golongan bangsawan yang sangat dihormati. Mereka juga berkedudukan sebagai kepala suku. Dibawah Usif ada Amaf, Amaf adalaf sekelompok masyarakat yang terdiri dari klen kecil. Sejajar dengan Amaf ada Meo yang merupakan barisan hulubalang yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dari segala ancaman yang datang dari dalam maupun luar daerah. Mereka juga berjuang mempertahankan marga dan kampung halaman dari segala serangan musuh.
E.1.1. Struktur Adat dan Pemerintahan TTS
a. Struktur Masyarakat dan Self Governing Masa (Pra Kolonial-1500)
Struktur pemerintahan di TTS mengalami akulturasi (perkawinan) dengan budaya lain setelah abad 15. Sebelum itu, Timor sendiri sudah mempunyai adat-istiadat murni. Terbukanya Timor dengan dunia luar dimulai dengan perdagangan kayu cendana (Santalum album Linn). Leluhur mereka menyebut tanah Timor dengan sebutan ‘Hau Fo Meni’ atau disingkat dengan Haumeni’ yang artinya negeri berbau harum. Para pembelinya kayu Cendana kebanyakan berasal dari Bali, Jawa dan Sumatra. Demikian juga pada masa Timor dalam penguasaan Raja Majapahit, upeti yang diminta adalah berupa kayu cendana.
Pengaruh budaya Jawa dapat diketahui pada struktur pemerintahan adat. Misalnya dalam beberapa sebutan untuk tetua adat seperti istilah Usif, berasal dari sebutan bahasa Jawa yang artinya Gusti (tuan) yang telah mengalami perubahan fonetik maupun dialek bahasa. Kemudian istilah Temuku dari kata Tumenggung, dan sebutan Lopo yang berasal dari istilah Pelopor (Lopor). Namun demikian istilah ini tidak sampai menyusup ke pedalaman, dalam arti tidak sampai merombak struktur pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat adat.
Dalam sejarah asal-usul penduduk di TTS ini dikompilasikan oleh hadirnya orang Negro Afrika dan India (yang waktu itu bertugas sebagai tentara Portugal). Kemudian masuknya orang-orang Cina serta beberapa orang Indonesia bagian Barat. Masuknya penduduk Indonesia di pojok tenggara Indonesia ini kemudian berbaur dengan kehadiran suku-suku sebelumnya. Percampuran ini menurut beberapa sumber dimulai dari Camplong. Daerah yang tidak jauh letaknya dari ibu kota pripinsi, Kupang.
Bagaimanapun kompleksnya penduduk yang mewarnai negeri Timor ini, namun secara garis besar penduduk ini dapat di bagi dalam dua kelompok besar. Pertama, Orang Belu Timur, Bastian (l885) melihat bahwa orang-orang ini menunjukkan persamaan dengan penduduk barat dari kepulauan Melayu. Dalam perjalanan selanjutnya orang Belu menyebut dirinya ‘Dawan’. Walaupun kata ini tidak pernah digunakan oleh mereka sendiri. Dawan sebenarnya adalah nama orang, yakni leluhur dari marga Sonba’i yang pertama.
Kedua, adalah orang Timor khusus pegunungan yang ada di bagian tengah dan darat dari kepulauan Timor. Catatan terakhir tentang tipe penduduk ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang ada di Irian. Lebih lanjut orang Timor khusus menyebut dirinya sebagai ‘Atoin meto’, orang Meto menyebut orang Belu dengan sebutan Kaes Belus. Koetjoroningrat menuliskan bahwa ciri-ciri tubuh orang Atoin lebih banyak dipengaruhi unsur Melanesia, jika dibandingkan dengan penduduk Timor yang lain, kebanyakan bertubuh pendek, ukuran kepala brachcyeephal, berkulit cokelat kehitam-hitaman dan berambut keriting.
Sebutan ‘Atoin’ yang sebenarnya adalah untuk orang Meto, dan menurut orang Meto sebutan Atoin sangat kasar sekali dan tidak tepat artinya. Istilah Atoin sebenarnya berarti manusia. Sehingga sebutan Atoin Meto artinya adalah manusia Timor yang berdiam di Pegunungan. Karena itu orang Kupang menyebut mereka datang dari pedalaman atau disebut dengan ‘orang gunung’
Pola mata pencaharian yang selalu berpindah dalam bahasa Meto disebut ‘An fun ma an non, na bonet ma na bonat, nah mate ma niun mate’ artinya mengepung, mengelilingi, makan mentah dan minum mentah, didapat dari beberapa keterangan para Kan-Uf (marga) Bay di Fatumnasi, salah satu Kecamatan di Mollo Utara. Ungkapan diatas mempunyai pengertian bahwa mereka adalah kelompok masyarakat tertua di Mollo. Sebagain keturunan Bay yang lain berpindah dan bermukim di wilayah Lelogama, Kabupaten Kupang yang juga disebut dengan Bay-Uf.
Pola hidup yang berpindah, membuat mereka terbiasa hidup dalam gua-gua sekitar Mollo, Matis dan Babmi. Warisan ini pada akhirnya nampak dalam bentuk rumah adat mereka. Bentuknya bulat dengan rumbai sampai ke bawah. Karena itu ia dinamai ‘rumah bulat’ (umebubu/umekbubu). Rumah ini hanya mempunyai satu pintu dan rendah, suasana di dalamnya gelap, mirip dengan gua-gua yang biasanya mereka tempati.
Selain pola hidup nomaden, masyarakat TTS juga akrab dengan pola hidup di atas pohon, dihutan-hutan. Mereka yang menggunakan pola ini biasanya adalah mereka yang biasa berada di wilayah yang beriklim panas. Pilihan ini disebabkan karena kondisi lingkungan dimana banyak nyamuk yang sering menyerang. Pondok tempat bernaungpun dibuat berupa para-para di atas pepohonan yang tinggi dengan menggunakan daun Gawang atau daun Enau.
Warisan pola ini adalah bentuk rumah yang disebut ‘Neob’. Namun dalam perkembangannya kedatangan suku bangsa Barat membuat modifikasi baru dimana rumah-rumah yang berbentuk Neob dirubah menjadi ‘Lopo’. Istilah ini sebenarnya datang dari bahasa Melayu atau bahasa Jawa ‘Pendopo’ , namun menurut lafal orang Timor pengertian ini berubah menjadi ‘Panlopo’ yang kemudian disingkat dengan ‘Lopo’. Lopo bukan saja difungsikan dalam penerimaan tamu. Dalam perkembangan selanjutnya Lopo digunakan untuk acara pernikahan, dan berdiskusi. Disinilah awalnya Demokratisasi di tingkat masyarakat adat Timor terjadi. Dalam Lopo ini para laki-laki dan tetua adat melakukan diskusi untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk menentukan aturan adat dan kesepakatan lain berkaitan dengan perselisihan antar suku maupun perebutan kekuasaan yang sangat sering terjadi waktu itu. Sayang Lopo hanya diperuntukkan untuk kaum laki-laki. Selain itu Lopo juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan senjata dan peralatan kesenian (gamelan).
Selanjutnya proses Lopo ini mengalami sedikit perubahan, disamping Lopo ada juga dikenal juga rumah belakang yang berfungsi sebagai gudang makanan, serta tempat menanak nasi. Jika Lopo merupakan metafora kaum laki-laki maka ‘Rumah Bulat’ diperuntukkan untuk wanita. Rumah Bulat wajib diberi dinding sedangkan Lopo tidak .
Kehidupan struktur masyarakat di TTS tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain pada umumnya. Mereka mengenal juga tentang rule of law atau norma-norma sosial yang mereka sepakati secara bersama-sama. Dalam komunitas masyarakat ini telah terjadi juga proses kontak dengan kebudayaan lain (diffussion). Sebenarnya antar difusi dengan akulturasi terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa kedua proses tersebut memerlukan adanya kontak. Tanpa kontak tidak mungkin kedua proses tersebut berlangsung. Akan tetapi proses difusi berlangsung dalam keadaan di mana kontak tersebut tidak perlu ada secara langsung dan kontinu. Misalnya difusi dari penggunaan tembakau yang tersebar di seluruh dunia. Lain halnya dengan akulturasi yang memerlukan adanya hubungan yang dekat, langsung serta kontinu. (ada kesinambungan).
Proses difusi dapat menyebabkan lancarnya proses perubahan, karena difusi dapat memperkaya dan menambah unsur-unsur kebudayaan, yang seringkali memerlukan perubahan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan, atau bahkan penggantian lembaga-lembaga kemasyarakatan lama dengan yang baru.
Demikian juga dengan Timor, mereka mempunyai norma yang diciptakan dan ditaati bersama. Lazimnya mereka yang tertua di dalam kelompok disepakati anggota untuk menjadi pemimpin kelompok. Pemimpin ini nantinya oleh orang Meto disebut dengan “Amaf”. Para pemimpin ini dengan seluruh anggotanya secara ikhlas tunduk kepada pemimpin yang lebih tinggi yang disepakati dan memberi kepercayaan kpd pemimpin ini untuk mengatur wilayah, struktur sosial masyarakatnya serta kekayaan yang ada di wiliyahnya. Penyerahan seluruh kekuasaan ini disebut dengan ‘Pah-Tuaf’.
Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada dalam masyarakat, disertai dengan perkembangan jumlah penduduk yang terus melaju, maka tugas dan fungsi para pemimpin adat ini juga semakin banyak. Untuk itu kemudian diadakan pembagian tugas dan fungsi di antara para Amaf, mereka dibagi dalam beberapa bagian antara lain.Pertama Amaf yang berfungsi di dalam bidang penataan dan pembinaan masyarakat disebut ‘Am-Uf’’. Kedua, Amaf bertugas sebagai penata dan pembina masyarakat yang disebut ‘Meo’. Ketiga Ana -amnes’ atau ‘Ana atobe’, mereka adalah para Amaf yang ditugaskan untuk melakukan pembinaan lingkungan serta konservasi alam. Sedangkan Amaf yang bertugas mengurusi kesehatan adalah”Mname’ (untuk lelaki) dan A tusit (untuk perempuan).
Dengan semakin luasnya hubungan masyarakat yang terjalin, giliran berikutnya dibutuhkan para pemimpin yang dapat menangani tugas yang lebih luas lagi. Untuk kepentingan tersebut beberapa Pah-Tuaf bersepakat untuk memilih pemimpin tersebut. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin antara lain adalah harus mempu0nyai kemampuan lebih, cerdas, cakap, mempunyai pengaruh yang luas, bijaksana, dan berilmu. Karena sejauh ini orang berilmu sangat disegani dalam kehidupan orang Timor. Mereka akan sering disapa dengan Neno-anan, A heit, A Lalat, Man a prifat, A finit, A manut, A Tupas dan A amat. Oleh karena mereka dipandang sebagai anak dewata maka biasanya segala tutur kata mereka dianggap sebagai titah dan dipandang sebagai undang-undang yang hrs ditaati oleh masyarakat.
Kalau penguasa tertinggi (A Finit) mendapat sapaan Neno-anan maka untuk para Pah-Tuaf mendapat sapaan Pahe-Tuan, yang merupakan penguasa wilayah dan penguasa rakyat. A Finit hanya sebagai perlambang kekuasaan tertinggi, dan tidak dapat diganggu gugat. Pemilihan pemimpin untu A Finit maupun Pah-Tuaf dilakukan secara genealogis, ini mempunyai arti bahwa pemegang pucuk pimpinan bersifat turun-temurun, baik pada tingkat A Finit, Pah-Tuaf, Mamaf Meo, Ana Atobe maupun Ana’a-Mnes.
Satu hal yang penting untuk dicatat adalah hubungan anatara Paf-Tuaf dengan Amaf ditengahnya ada satu fungsionaris, yang dan sebagainya Mafefa, yaitu juru bicara adat. Fungsionaris ini memiliki kecakapan di dalam mengani masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan adat-istiadat. Bukan hanya itu fungsionaris ini juga berfungsi sebagai tempat penerangan atau informasi bagi masyarakat. Meo adalah angkatan perang yang bertugas untuk menjaga daerah dari segala danguan keamanan dan ketertiban. Meo akan selalu bekerjasama dengan Raja. Sedangkan Ana Atobe bertugas sebagai pendoa upacara adat untuk kemakmuran, serta menyiapkan segala upeti untuk Raja. To ama adalah masyarakat kebanyakan, mereka tentu sangat tunduk dan hormat kepada Raja.
b. Struktur Masyarakat dan Struktur Pemerintahan Zaman
Penjajahan (1500-1945)
Pemerintahan adat pada masa penjajahan ini banyak mengalami pergolakan, baik disebabkan oleh pengaruh internal yang datang dari tubuh kerajaan maupun pengaruh eksternal, yaitu pengaruh dari Portugis dan Belanda. Pengaruh penjajahan ini membuat kerajaan terbesar di TTS (Amanatun, Amanuban dan Mollo) mengalami pasang surut adat, struktur pemerintahan maupun sistem perkonomian mereka.
Pengaruh Internal:
1. Kerajaan Oenam
Kerajaan ini memiliki wilayah pemerintahan yang lebih luas dibandingkan dengan kerajaan lain. Wilayahnya meliputi Fatule’U, Mollo, Meomafo, Insana sampai di Biboki. Dinasti yang berkuasa adalah dinasti Sonba’i, yang merupakan turunan raja besar Wehali di Belu Selatan. Keluarga keturunan Sonba’i ini masih memegang “bahwa semua bahan makanan manusia datang dari tulang belulang puteri raja Sonbai (Raja Oenam), dari tulang-tulang ini kmemudian tumbuh berbagai macam bahan makanan bagi penduduk Timor. Mitos ini berkembang begitu rupa, sehingga rakyat percaya dan menerimanya.
Dengan mitos ini, setiap kali panen rakyat harus memasukkan hasil pendapatan mereka sebagaian kepada raja Oenam (Sonba’i) sebagai tanda terimakasih kepada putrinya. Mitos ini berkembang cukup lama dan bukan hanya di sdalam wilayah kerajaan Oenam. Namun akhirnya rakyat menyadari bahwa Sonba’i adalah manusia biasa dan bukan anak dewata (Neo-anan), atas dasar pemahaman ini timbulah pemberontakan kepada raja, disebabkan Sonba’i tetap menuntut pemasukan hasil hulu bersamaan dengan itu harus ada seorang laki-laki dipersiapkan untuk dibunuh oleh Sonba’i.
Pembangkangan terhadap Sonba’i dimulai dari Bijela, 3 permasuri Sonba’i kacau di tengah malam. Mereka berlari mencari perlindungan. Ketiganya disembunyikan oleh Lo Afos Mella di bukit Laob dan diawasi oleh Kalu Banobe dan Lia Bahan. Sedangkan permasuri ketiganya, Bi Manel Kosat menyingkir ke Oekusi (Ambenu), krn dia berasal dari sana. Peristiwa ini akhirnya menyebabkan Oenam terpecah, masing-masing Uis Pah memerintah sendiri wilayah kekuasaannya krn keturunan Sonba’i hampir punah.
Pemerintahan keturunan Sonba’i dipimpin oleh Boab, pada waktu ini Belanda sudah datang ke Timor untuk membeli kayu cendana. Sementara Portugis yang menduduki Oekusi memainkan politiknya dengan menyerang raja Boab Sonba’i sehingga mereka berpindah ke Kupang bersama dengan rakyatnya. Karena tidak mau tunduk terhadap pemerintahan Belanda akibatnya mereka ditangkap di Bijeli dan dibuang ke Betawi sampai meninggal di sana.
Pergolakan kedua tumbuh dalam kerajaan Oenam, dimana pusat pemerintahan waktu itu sudah berpindah ke Fatule’U. Adanya pembunuhan orang warga, Uis Kono dan Uis Oematan menyebabkan kedua keturunan ini mengangkat sumpah (Lasi Bata) bahwa mereka tidak akan mengabdi lagi ke Raja Oenam di Kauniki. Dan sumpah ini berlanjut sampai sekarang. Tidak ada satu orangpun keturunan Euis Oematan dari Mollo pergi ke Kauniki, menyapaun bahkan tidak.
Pergolakan ketiga timbul dalam tubuh Oenam karena selisih antara akak dengan adik, yakni antara Sobe Sonba’i dengan Tua Sonbai. Ini menyebabkan Tua Sonba’i menyingkir ke Kolo Pit’ai dan kemudian meninggal disana. Tua Sonbai akhirnya dijemput oleh Uis Kono dan Uis Oematan lalu ditempatkan di Fatumnutu, kemudian menurunkan Ofi Sonba’i, Ofi Sonbai menurunkan Kau Sonba’i, Dan Kau Sonba’i menurunkan lagi Tua Sonba’i, Raja kerajaan Mollo yang memegang kekuasaan Mollo dari tahun 1933-l958.
2. Kerajaan Amanuban (Banam)
Kerajaan ini terbentuk sekitar abad VI, disekitar NoEbunu. Pada massa pemerintahan Nubatonia, kerajaan Amanuban berpusat di Tunbesi. Pada waktu itu datanglah seorang dari wilayah Amanatun yang juga merupakan leluhur marga Nope di Niki-niki. Mereka berdiam di di Usapi-Kolhala. Karena dia juga berasal dari suku Rote maka mata pencahariannya adalah dari mencari hasil pohon tuak, untuk mendapatkan nira sebagai bahan makanan dan minuman. Dan setiap pagi Raja mendapatkan jatah dari Nope karena itu pada proses berikutnya Nope ikutserta dalam proses jual beli kayu cendana raja. Karena itu dia banyak berhubungan dengan Portugis.
Tidak seperti kebanyakan rakyat lainnya Nope tidak pernah mendapat tipu timbangan kayu cendana oleh Portugis karena selalu teliti. Tak heran akhirnya banyak orang meminta bantuannya. Masyarakat juga semakin setia kepada Nope, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi raja Nubatonis, Nope dianggap sebagai penghasut. Ia dijuluki dengan Ola-kmali artinya penghasut dan perusak mental rakyat. Setelah raja penasaran maka diadakan sayembara sebagai usaha untuk mengalahkan Nope, dengan jaminan tahtanya. Setelah beberapa kali pertandinagn Nope selalu memenangkan kesempatan itu. Raja menjadi sangat malu, akhirnya dia menyerahkan tahta kerajaannya kepada Nope sebagai penguasa atas kerajaan Amanuban. Sebagai tanda penyerahan kekuasaan.
Setelah menduduki tahta kerajaan Amanuban, Nope berusaha memperluas wilayah kekuasannya. Perluasan ini dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, perluasan wilayah dengan penaklukkan. Untuk itu para Meo dikerahkan untuk menghalau raja Tkesnai NoEbunu. Sedang putra Tkesnai bernama Lazaruz Toto do Bosen, melarikan diri dari perang di Amanatun menuju ke Haekto-Bonatun yang selanjutnya disebut Mollo. Penaklukkan ke arah Selatan juga dilakukan dengan penaklukkan kepada Raja Jabi-Uf. Penaklukkan ini dimulai dengan awal yang sangat sederhana, yaitu pencurian kerbau. Waktu itu masih sangat kental hukum adat dipegang, pelaku pencurian harus dikebiri. Pada peristiwa ini seorang warga Jabi mati terbunuh di lapangan Sonaf (Rumah Raja) Niki-Niki dan daerah kekuasaannya diambil oleh Nope.
Kedua, usaha penaklukkan dan perluasan kerajaan juga dilakukan dengan mengawinkan putra raja dengan putri-putri sekitar kerajaan. Karena menurut adat Timor, anak gadis yang dikawini pihak lain, akan membawa harta milik orang tuanya, baik yang bersifat barang bergerak maupun tidak bergerak sebagai sumber kehidupannnya dan keturunannya. Harta bawaan dari orang tua gadis disebut ike-suti (ike adalah alat pemintal dari benang, sedangkan suti mempunyai arti alasan untuk memintal benang).
Menurut raja peluang ini sangat bermanfaat dalam rangka perluasan wilayah kerajaan, dengan harapan mendapat tambahan wilayah sebagai ike-suti dari kerajaan sekitar, antara lain satu putranya dikawainkan dengan puteri raja Amanatun yang bernama Fnatun Bneaek, sebagai imbalan raja meminta wilayah dari Pisan sampai Fatu-ulan. Kemudian Puteri raja Oenam di Kauniki bernama Bi Sobe Sonba’i. Dalam perkawinan ini raja Amanuban meminta wilayah dari Neometo hingga NoEmollo (hulu sungai NoEmuke). Turunan dari perkawinan ini akhirnya menempati Basmuti. Perkawinan ketiga adalah dengan menikahkan putera Amanuban dengan bangsawan Oematan di Tobu bernama Kaunan Aononi. Perkawinan ini merupakan upaya untuk menetralisir keamanan di antara Mollo dan Amanuban yang sering terjadi konflik. Kemudian berkedudukan secara langsung sebagai pendamai maka perempuan-perampuan ini disebut sebagai Bi Kel Anoni (pendamai).
3.Kerajaan Amanatun
Kerajaan Amanatun (Onam) merupakan kerajaan yang terletak paling Selatan di wilayah TTS. Mulanya kerajaan ini hanya meliputi wialyah-wilayah kecil NoEbone dan NoEbanu. Yang dulunya disebut juga sebagai wilayah Anas, kerajaan kecil di bawah pengaruh kerajaan yang lebih besar Wehali di Belu selatan. Dinasti yang berkuasa dalam wilayah ini adalah Nesnay, namun dalam pengelolaan kerajaan dibantu oleh Nenometa dan Fay, karena itu kerajaan Anas kadang juga disebut sebagai kerajaan Nenometa. Kerajaan ini beralih ke wilayah TTS baru pada tahun 1910 dan menjadi distrik dari kerajaan Amanatun berdasarkan Government Besluit No. 2 Tahun 1913.
Pergolakan disini dimulai dengan kedatangan suku Tkesnai dengan Amafnya serta dalam jumlah yang sangat besar (ribuan), orang Amanatun menyebutnya sebagai To nifun. Suku ini mendarat di pantai Selatan dan menghuni wilayah sekitar TunAm sampai ke gunung Sunu. Paradaban dan peralatan yang dipakai oleh suku ini jauh lebih baik, karena itu terjadi perebutan wilayah dengan suku-suku sebelumnya (suku Toh dan Nenomatasus).
Karena merasa terdesak dua suku terdahulu bersepakat untuk meminta bantuan dari luar, yaitu ke Oenam. Permintaan ini langsung ditunjukkan kepada Usif Nai Mella di Rijoba. Atas permintaan ini Nai Mella dan pendukungnya akhirnya dapat mengalahkan Tkesnai dari wilayah Anas.
Pengaruh Eksternal
Pengaruh eksternal tentu datang dari bangsa asing yang mencoba mengais keuntungan di Timor. Kedatangan mereka berawal dari kayu cendana yang pamornya tersebar sampai ke Portugal, Spanyol, Inggris dan Belanda. Dalam salah satu tulisannnya Gresshof (1894-1900), menyatakan bahwa para tabib Arab sudah mengenal sifat-sifat minyak cendana sekitar tahun 1000 Masehi. Sedangkan Spanyol mengenal kurang lebih abad XVI.
Ramainya perdagangan kayu di Eropa membuat harga pohon cendana menjadi sangat mahal. Karena itu mereka langsung berlayar ke Timur melacak tulisan-tulisan Cina yang menyebutkan bahwa ‘Tiwu’ (Timor) sangat kaya dengan kayu dengan cendana, bahkan kayu ini bernilai sebagai upeti kepada raja. Kedatangan bangsa asing ini bukan hanya untuk tujuan ekonomi semata, mereka juga mempunyai kepentingan lain yaitu membawa misi gospel (penyebaran agama).
Kedatangan Portugis di Indonesia melewati pantai utara pulau Jawa yang sering dilalui pelaut muslim, karena saling berebut rempah-rempah maka terjadilah bentrokan antara mereka. Untuk menghindari bentrokan lebih lanjut maka Portugis menempuh jalur Maluku, sebagai daerah penghasil rempah. Tahun 1527 jalur pergeseran ini bergeser ke utara, yakni ke Malaka, Kalimantan utara, Sulawesi dan Hindia.
Melalui jalur inilah Portugis menemukan Timor, selain berdagang rempah-rempah dan membawanya ke Eropa mereka juga membawa misi untuk penyebaran agama Katolik melalui pelabuhan Oekusi (Lifau) dan Dili (Timor Leste). Setelah beberapa kurun waktu lamanya, sistem barter dalam perdagangan kayu cendana ditinggalkan dan diganti dengan uang perak sebagai alat penukar. Sebutan uang ringgit panasmat, atau yang lazim digunakan dikalangan masyarakat Amanabuban dan Amanatun berasal dari nama uang ringgit Spanyol Pasmat. Sedangkan Luikton yang lazim digunakan di wilayah Oenam berasal dari sebutan rix dollars . Begitu juga dengan sebutan lain seperti mahuma, merupakan uang suku zaman Portugis. Sedangkan sebutan seperti rupiah, ketip, kelip, gobang, dan remis merupakan pengaruh dari Melayu. Dalam struktur pemerintahanpun terjadi beberapa perubahan. Misalnya munculnya istilah Keiser, Feitor, Kolonel (Kolnel), taninti, Alferis, dan Kabo.
Dalam proses perdagangan kayu Cendana pernah terjadi pertikaian antara pemimpin pemerintahan dengan pedagan Portugis karena penipuan dalam penimbangan kayu cendana oleh para pedagang portugis. Karena pertikaian ini hubungan dagang dengan Portugis terputus selama lebih dari 50 tahun lamanya. Peluang pertikaian ini dijadikan suatu peluang bagi Belanda ke Timor.
Tahun 1613 Belanda pertamakali datang ke Pulau Timor dengan kompani dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang sudah dibentuk sejak tahun 1906. Dalam salah satu Anggaran dasar VOC ini disebutkan salah satu hak Belanda yang disebut sebagai Ootroi. Yaitu hak dari pemerintah Belanda untuk berdagang di wilayah Semenanjung Harapan dan Selat Magelhaens (Amerika Selatan). Dengan hak ini VOC diperkenankan merebut daerah, membangun benteng, mencetak uang, mengadili perkara serta menentukan antara perang dan damai.
Belanda memutuskan menetap di pulau Timor sejak tahun 1657 dengan merampas benteng milik Portugis yang ada di muara Mantasi. Sama seperti politiknya di Jawa, Belanda juga mengembangkan politik adu dombanya di Timor. Oleh karena Belanda mengetahui bahwa Raja Baob Sonba’i adalah raja yang paling menentang Belanda, maka Belanda mengatur siasat untuk menculiknya pada waktu malam hari, tindakan ini tentunya menimbulkan pemberontakan-pemberontakan di kalangan rakyat. Pemberontakan yang timbul antara lain Perang Penfui (l749), penfui artinya bendera asing (liar), dimaksudkan bahwa Pemerintahan Belanda dengan benderanya dipandang sebagai benda asing, bangsa asing. Kemudian pelawanan yang disebut Kotrak Paravicini (l756), disebut kotrak karena yang merencanakan adalah seorang warga Jerman bernama Paravicini yang bekerja pada VOC. Pemberontakan Kerajaan Oenam Sobe Sonba’i II dan beberapa pemberontakan yang lain.
Perjuangan Belanda dalam menaklukkan Kerajaan-kerajaan di Timor belum berhasil seluruhnya, karena itu pemerintahan Belanda menempuh cara politik yang lain untuk menaklukkannnya. Upaya ini dilakukan dengan ditandatanganinya Traktat oleh pemerintah Belanda dan Portugis, yang berlangsung di Lisabon, dan Netherland tahun l854. Isi dari perjanjian ini adalah bahwa wilayah enclave Oekusi, NoEmuti (T.T.U), Tamiru dan Ailala berada dalam kekuasaan Portugis, sedangkan sebelah barat berada dalam kekuasaan pemerintah Belanda.
Dengan pembagian wilayah ini maka Timor secara keselurahan lebih banyak dikuasai oleh Belanda Penguasaan ini tentunya membawa perubahan dalam pemerintahan. Pada masa ini Belanda menghadapi berbagai tantangan dari para raja–raja pribumi, salah satu upaya yang dilakukan adalah menetapkan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan desa, dan daerah yang setingkat dengan desa.
Salah seorang Belanda yang pertamakali mengadakan penelitian tentang desa dan pemerintahannya adalah Mr. Herman Warner Muntinghe, yang menjadi orang kepercayaan Governor Genderal Stamfort Raffles (1811-1816). Ia menyampaikan bebberapa penelitiannya kepada Raffles tanggal 14 Juli 1811. Setelah dipelajaridg seksama Raffles menetapkan bahwa untuk pengangkatan kepala desa, dilakukan pemilihan secara langsung oleh seluruh masyarakat desa yang telah berumur 18 tahun keatas. Untuk pertama kalinya sistem demokrasi langsung dikenalkan oleh Inggris.
Setelah berakhirnya jajahan Inggris tahun l8l6 dan Belanda kembali menguasai Nusantara, laporan Mr. Herman dipelajari dan dipakai sebagai pegangan untuk Komisaris Jendral (Commisarisson General) pemerintah Belanda untuk mencari ketentuan dalam Stbl.l815 Nomor 13, yang menjelaskan bahwa adat lama yang memberikan hak kepada desa untuk memilih dan mengganti kepala desa berlaku terus.
Berdasarkan ketentuan ini, maka Struktur pemerintahan adat yang ada masih tetap berlaku. Baik untuk Jawa, Madura maupun Bali serta daerah setingkat desa di wilayah yang lain. Pengaturan lebih lanjut tentang desa dan daerah setingkatnya diastur dalam Undang-Undang pemerintahan Belanda yang disebut Reglement op het beleit der Ragering Van Netherlands Indie (Regering Reglement, 1854). Pasal 71.
Dalam ayat (l) Undang-Undang ini dikatakan bahwa desa, kecuali dengan persetujuan penguasa yang ditunjuk dengan peraturan umum, memiliki sendiri kepala desa dan pemerintah desa. Gubermur jendral bertugas menjaga hak tersebut dari pelanggaran. Dalam ayat (2) dikatakan bahwa Kepala Desa diserahi pengaturan dan pengurusan rumah tangga desa dengan memperhatikan peraturan wilayah atau pemerintah dari kesatuan masyarakat yang ditunjuk dengan peraturan umum. Dngan demikian, pengaturan tentang pemerintahan desa dan daerah yang setingkat dengan desa yang melandasakan diri pada peraturan adat masih tetap berlaku.
Selanjutnya dalam Indische Staatstregeling (Peraturan ketatanegaraan pemerintah Belanda) pasal 128, diatur lagi tentang pemilihan Kepala desa, yang menegaskan ulang fungsi kepala desa dalam pemerintahan desa (5). Peraturan ini merupakan suatu pengaturan secara yuridis formal untuk pertama kali dalam zaman penjajahan Belanda. Namun bagaimanakah pelaksanaan aturan ini, terutama di TTS dan TTU? Kenyataannya sebagaian besar kerajan-kerajaan masih tetap mempertahankan lembaga adat mereka, dan tidak memberi peluang kepada pemerintah Belanda untuk mencampuri urusan adat mereka.
Praktek penyelenggaraan pemerintahan dalam wilayah kerajaan dan struktur yang ada dibawahnya berjalan menurut hukum adat yang berlaku. Ketentuan tentang kepala desa sesuai dengan pasal l28 I.S tidak diberlakukan. Para raja mengangkat feitor dari kalangan marga yang berhak untuk menduduki jabatan tersebut (azas genealogis). Demikian pula pengangkatan temukung besar sebagai jabatan yang setingkat dengan desa, Feitor mengangkatnya dengan memperhatikan status sosial dan kemargaan dalam masyarakat. Campur tangan Belanda dapat dikatakan tidak berarti apa-apa dalam pengaturan pemerintahan desa, ini terbukti setidaknya dengan banyaknya pergolakan yang menentang pemerintah Belanda.
Selanjutnya pemerintah Belanda mengadakan pembagian wilayah ADMINISTRATIF berdasarkan Stbl. 1871 No 55 yang kemudian dirubah dengan Stbl.1879, No 21. Dengan adanya perubahan ini maka Keresidenan Timor dan daerah taklukkannnya (Residentie Timor on Onderhoorigheden) terdiri atas 3 afdeeling dan 15 Onderafdeeling serta 48 Landschap (Swapraja). Pembagian ini nampaknya mengalami perubahan beberapa kali. Onderafdeeling Oematan dan Mollo meliputi kerajaan Mollo, Meomafo (Amkono) dan Amanuban. Sedangkan Amanatun tidak disebutkan. Apakah termasuk dalam Onderafdeeling lain tidak disebutkan dengan jelas.
Berdasarkan Undang-Undang diatas Timor dibagi atas dua Afdeeling yakni Afdeeling selatan dan pulau-pulaunya dengan ibu negerinya Kupang serta Afdeeling noord an Midden Timor dengan ibu negeri Kapan. Wilayah terakhir ini dibagi lagi atas empat Onderafdeeling yakni:
1. Onderafdeeling Midden Timor dengan ibunegerinya Fapan
2. Onderafdeeling Zuid Midden Timor dengan ibunegeri Niki-Niki
3. Onderafdeeling Noord Midden Timor dengan ibunegeri Famenanu
4. Onderafdeeling Belu dengan ibu negeri Atapu yang kemudian pindah ke Atambua
Pembagian diatas tidak menyebutkan dasar hukumnya. Namun hal ini biasa terjadi, karena Belanda pada masa ini Belanda banyak menghadapi tanntangan dan pembagian wilayah ini sebagai salah satu strategi penguatan posisi, sehingga tidak heran jika penataan yang ada masih sangat simpang siur. Pembagian terakhir wilayah administratif pemerintahan di TTS adalah Onderafdeeling Zuid Midden Timor terdiri dari kerajaan (Landschap) Mollo, Amanatun dan Amanuban, dengan ibu negerinya SoE. Pejabat pemerintahan untuk Onderafdeeling waktu ini disebut dengan Controleur. Sedangkan untuk Afdeeling disebut Pejabat residen. Sedangkan yang dimaksud dengan karesidenan adalah Timor dan daerah taklukannya yang meliputi Timor dan pulau-pulaunya, Flores dan pulau-pulaunya serta Sumba beserta pulau sekitarnya.
c. Perkembangan Struktur Pemerintahan adat (l945-l978)
Ketika proklamasi dikumandangkan oleh Ir. Soekarno pertanda bahwa bangsa Indonesia lepas dari segala bentuk penjajahan dan tindak semena-mena dari bangsa asing. Sehari setelah itu Undang-Undang Dasar l945 telah disahkan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam Undang-Undang tersebut dikatakan jelas bahwa wilayah Indonesia meliputi semua wilayah yang merupakan jajahan Belanda .
Berita ini diumumkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7 halaman 45 kolom l serta hal 46 kolom 2 (dalam batang tubuh) yang menyatakan bahwa “wilayah territorir negara Indonesia terdapat kurang lebih 50 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen (desa) seperti yang ada di Jawa dan Bali, negeri Minangkabau, Dusun dan Marga di Padang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai struktur asli dan oleh karenanya dianggap daerah istimewa. Begitu juga dalam pasal II aturan peralihan UUD dijelaskan bahwa ‘ Segala Badan Negara dan Peraturan Yang ada, masih berlaku selama belum diadakan perubahan yang baru menurut Undang-Undang Dasar.
Begitu juga dalam penjelasan pasal l8 UUD l945, dalam pasal aturan peralihan pasal l Peraturan Pemerintah Nomor Tahun l945 menjelaskan bahwa bentuk pemerintahan Swapraja (Zelfbestuurende Landschappen) dan Volksgeenschappen (desa) dan semua bentuk pemerintahan yang setingkat dengan desa seperti ‘Nagari’, ‘Marga’ dan struktur adat yang lain masih tetap berlaku.
Undang-Undang diatas memberi kesimpulan bahwa Swapraja (kerajaan) yang ada di wilayah TTS dan semua perangkat bawahnya seperti Kefetoran, Ketemukungan besar, Ketemukungan kecil, Lopo dan Nakaf masih tetap berjalan sesuai dengan hukum adat yang telah disepakati oleh masyarakat. Dengan demikian raja-raja di wilayah TTS selaku tokoh adat dibantu oleh para Fetor, Temukung besar dan kecil, Lopo dan Nakaf diberi kekuasaan untuk mengatur pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Namun dalam pelaksanaannya, khususnya dalam hukum adat sendiri masih dijalankan peraturan-peraturan serta ketentuan formal peninggalan Belanda, seperti Zelfbestuur Regeling Tahun l98 No 529, yang berlaku untuk pemerintah Swapraja. Dalam ketentuan tersebut ada perjanjian pendek (Korte Verklaring) antara raja dengan pemerintah Belanda yang masih berlaku pula sistem Inlandsche Gemoente Ordonnantie Ruitengewesten (IGOB) untuk desa dan daerah yang setingkat dengan desa termasuk pula bentuk Ketemukungan. Tugas dan peran Fetor dan Temukung adalah menjalankan pemerintahan termasuk dalam menjamin keamanan, ketertiban, memungut pajak, mengadakan kerja gotong-royong, membina masyarakat di wilayah masing-masing termasuk meyelesaikan perselisihan. Raja (penguasa setingkat dengan Kabupaten), Fetor (setingkat dengan camat), sedangkan Temukung besar (setingkat dengan desa), Temukung kecil setingkat dengan RW.
Setahun kemudian berkaitan dengan rencana Dari. H.J Van Mook dengan konferensi Malino, tanggal l6 juli l946 ada penertiban tentang garis batas penguasaan RI dan pemerintah Belanda. Dalam konferensi tersebut hadir juga beberapa utusan adat dari Timor untuk menegaskan kembali posisi mereka dalam struktur pemerintahan. Namun dalam konferensi Malino yang didapat justru berbeda. Indonesia sepakat dijadikan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang notabene adalah upaya Belanda untuk memecah belah RI. RIS resmi berdiri tgl 7 Desmber l949, perkembangan yang terjadi di Timor saat itu adalah diadakannya serah terima jabatan dari Controleur C. Van Dongeh kepada Utusan pemerintah Daerah TTS C.M.K Amolo.
Beberapa kurun waktu Undang-Undang dan peraturan yang disepakati tetap berjalan, namun pada tahu l955 pergolakan khususnya di TTS mulai memanas. Munculnya beberapa parpol yang menpengaruhi rakyat membuat rakyat yang ada di desa menjadi terkotak-kotak. Tahun ini adalah memang untuk pertama kalinya rakyat Indonesia dikenalkan dengan PEMILU (Pemilihan Umum). Banyak partai yang menjamur antara lain Partai Nasional Indonesia, Parkindo, Parta Katholoik, Partai Murba, dan lain-lain. Khususnya untuk wilayah Amanuban yang cukup berpengaruh adalah calon pribadi atas nama Kusa Nope raja Amanuban dengan tanda gambar kuda. Tanda gambar ini sangat dikenal oleh rakyat Amanuban sehingga akhirnya Nope terpilih menjadi anggoita Konstituante.
Kondisi lain yang rawan dalam masyarakat adalah adanya pertentangan antara Amanuban dengan Kerajaan Amanatun, akibatnya terjadi perang antara kelompok masyarakat sendiri. Sedangkan di Mollo sendiri pertikaian wilayah antar suku menjadi ajang pertumpahan darah. Persoalan batas antara kefetoran sering juga mengganggu sistem keamanan yang sudah disepakati bersama. Kasus lain yang muncul ketika itu bahkan sampai sekarang belum tuntas adalah perbatasan antara Belu dan Timor Tengah Selatan di Totas.
Untuk menetralisir ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No No 69 tahun l958 dan untuk alasan penyeragaman maka sistem dan struktur pemerintahan di seluruh Indonesia disamakan. Karena itu Gubernur Daerah Tingkat I NTT mengeluarkan keputusan sebagaimana tersebut diatas untuk membentuk wilayah administratif Kecamatan diseluruh Daerah Tingkat II di NTT. Jumlah Kecamatan yang dibentuk waktu itu baru 5, yaitu Kecamatan Mollo, Amanatun, Amanuban Barat, Amanuban Tengah dan Amanuban Timur. Dan keputusan ini terus mengalami perubahan sampai sekarang.
Struktur pemerintahan adat yang berada dibawah Swapraja adalah Kefetoran dan Ketemukungan yang seluruhnya berjumlah l7 Kefetoran dan 204 Ketemukungan. Struktur ini akhirnya dihapus dan diganti dengan sebutan ‘Desa Gaya Baru’. Disebut demikian untuk membedakan dengan desa gaya lama. Pembentukan desa gaya baru ini berdasarkan instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT No. Und./l/7, tgl 4 November l964. Namun pembentukan desa ini masih mengalami kesulitan karena pola pikir masyarakat masih tetap memegang adanya sistem genealogis (kepemimpinanan berdasarkan marga dan keturunan)
Upaya ini sebenarnya merupakan upaya politis dari Orde baru ketika itu yang berusaha untuk membuat sentralistik pemerintahan dan memudahkan kontrol sampai pada level masyarakat paling kecil yaitu desa. Semua struktur pemerintahan dibuat Jawanisasi. Sejarah pedesaan terputus pada tahap ini. Kita tidak tahu bagaimana perkembangan pendidikan politik di pedesaan itu akan dapat mencapai tujuan sebuah civic culture. Tiba-tiba sejarah terputus dengan dijadikannya masyarakat sebagai masa mengambang (Floating mass) dalam pemerintahan Orba. Keterlibatan politik secara massal di masa lalu kemudian digantikan oleh keterlibatan elite desa. Hanya dalam saat-saat tertentu masyarakat diajak mengenang kembali partisipasi politik mereka, yaitu pada saat-saat menjelang pemilu. Masyarakat desa diajak untuk meninggalkan ideologi komunal mereka. Parochial-participant culture digantikan dengan subject paticipan culture.
Kemudian mengenai nasib para Fetor yang diberhentikan, diambil kebijakan oleh Bupati Kepala Daerah melalui pertemuan tatap muka tanggal l8 Juli l968, bahwa mereka mencapai masa pemberhentian samapai batas usia pensiun. Dan mereka yang belum mencapai waktu untuk pensiun dialihkan menjadi pegawai daerah. Karena pembentukan desa gaya baru dilaksanakan pada masa transisi, yakni pergantian Ketemukungan Besar (Desa Gaya Lama/Tradisional) untuk menghindari kemungkinan timbulnya goncangan atau keresahan dalam masyarakat maka faktor genealogis masih turut diperhatikan. Peniadaan unsur genalogis hanya apabila berkaitan dengan faktor teritorial dan jumlah penduduk. Namun pada daerah tingkat II hal ini belum memungkinkan.
Akibat masih adanya Fetor-Fetor yang diangkat berdasarkan marga dan keturunan dalam desa gaya baru maka dalam kurun waktu berikutnya terdapat desa-desa yang memiliki wilayah kantong (enclave). Misalnya desa Oebasa dengan wilayah kantong Mnelafau, Desa Liliana dengan wilayah kantongnya Haumetan, dan sebagainya. Untuk mengatasi itu akhirnya banyak desa yang dibentuk namun banyak juga yang akhirnya digabung pada tahun l980 awal.
d. Perkembangan Struktur adat (l978- sekarang)
Mengingat bahwa sekian kali telah terjadi berbagai macam perubahan dan pemindahan kantor desa sebagai pusat pelayanan kepada masyarakat serta sebagai suatu struktur pemerintahan, pembangunan serta kemasyarakatan dari suatu tempat ke tempat lain maka sungguh surta Bupati Kepala Daerah Tingkat II Timor Tengah Selatan Nomor Pemerintah.Des l45/4/256/1989 tgl 8 September dan No Pemerintah. Des. 145/4/6/1990, tgl 3 Januari 1990 ditetapkan nama-nama Kelurahan yang resmi.
Dalam struktur pemerintahan ini masih dikenal adanya Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai salah satu unsur pemerintah desa. Fungsinya dimaksudkan sebagai lembaga permusyawaratan masyarakat yang angotanya terdiri dari Kepala Dusun, pemimpin lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat. Disini lembaga adat diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sampai munculnya Undang-Undang No 22 tahun 99 yang mengusik kembali adanya hak-hak ulayat masyarakat adat serta nilai ekonomis yang dimiliki oleh setiap adat.
E.2. Kecamatan Amarasi
Kecamatan Amarasi merupakan satu, dari sembilan belas Kecamatan yang ada di Kupang, dengan tingkat densitas assosiasional yang masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari masih sangat sedikit lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat Amarasi. Kelompok-kelompok inipun masih banyak menggunakan cara-cara tradisional berdasarkan ikatan teritorial maupun kekerabatan. Kecamatan Amarsi cenderung sangat homogen dari segi etnis, karena itu dalam situasi seperti ini struktur kekerabatan dapat menjadi tali penghubung antara satu desa dengan desa yang lain, walaupun sistim sosial kekerabatan pada dasarnya tidak menghapuskan proses feodalisasi dalam sistem sosial dengan adanya keluarga-keluarga yang secara tradisional berperan sebagai Fetor.
Dalam hal penguasaan atas tanah, sama seperti banyak daerrah lain, bahwa tanah-tanah ulayat akhirnya dikuasai oleh negara. Struktur tanah Amarasi, banyak ditumbuhi oleh pohon tuak. Yang akhirnya menjadi salah satu mata pencaharian penduduk. Bahkan mereka mempunyai prinsip hidup yang disebut Moa Tua Do Lefe Bafi, artinya kehidupan dapat bersumber cukup dengan mengiris pohon tuak dan memelihara babi. Dan memang secara tradisional orang-orang memulai perkampungan melalui pengelompokan batih dari pekerjaan mengiris tuak tersebut. Sehingga pada mulanya ketika ada sekelompok tanaman lontar yang bisa disadap pada suatu kawasan tertentu maka tempat ini akan menjadi tempat pemukiman utama.
Para pemula pengiris tuak (penyadap nira pohon lontar) biasanya mendirikan semacam dangau kecil beratap lontar yang dijadikan sebagai tempat menima lontar (haik) dengan ukuran sedang. Kelompok inipun semakin banyak di setiap kawasan. Hingga akhirnya dianggap perlu untuk pemukuman yang tetap. Dari sini mulailah pengelompokan masyarakat berdasarkan keluarga batih, yang diperluas menjadi asas geneologis.
E.2.1. Sistem Perekonomian dan Pelayanan
Ekonomi kecamatan Amarasi dapat dibagi dalam dua wilayah pertumbuhan ekonomi, Wilayah pertama merupakan desa-desa yang dahulunya berada di wilayah Kefetoran Oekebiti dan Buraeng. Desa-desa tersebut menjadikan Oekebiti sebagai pusat aktivitas ekonomi sekaligus sentral dalam pelayanan publik. Sedangkan wilayah kedua berada di desa-desa yang dulunya ada dalam wilayah Kefetoran Baun. Pembedaan ke dalam wilayah ekonomi itu semakin terlihat jelas dari proses transaksi ekonomi dari masyarakatnya. Penduduk desa seputar Oekebiti akan memilih pasar di Oekebiti sebagai tempat pertukaran ekonomi. Begitupula sebaliknya, desa-desa seputar Baun akan menggunakan Pasar Baun untuk aktivitas ekonominya.
Adanya dua wilayah ekonomi ini disamping karena format pembagian wilayah kekuasaan lalu melalui model Kefetoran, juga diakibatkan pada faktor orbitasi antara desa-desa seputar Baun dengan ibukota Kecamatan Amarasi di Oekebiti. Aktivitas ekonomi yang berada di seputar Baun akan lebih dekat dipengaruhi oleh ekonomi kota Kupang dibandingkan dengan ibukota kecamatan di Oekebiti. Pengaruh ekonomi di kota Kupang menjadi sesuatu yang masuk akal karena jarak Baun ke Kupang lebih dekat daripada Baun ke Oekebiti.
Selain gravitasi ekonomi Baun lebih dekat ke Kupang, ekonomi Oekebiti juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan pasar di Kupang Timur. Kedudukan pasar Oesao yang strategis antara pusat ekonomi Kupang dengan kecamatan pinggiran membuat para pedagang Amarasi tertarik ke Oesao dibandingkan membangun kekuatan pasar sendiri.
Luas Lahan di Kecamatan Amarasi yang seluas 7l7.628 Ha, dapat dibagi dalam tanah sawah dan tanah kering. Dari keseluruhan, luas tanah sawah 28.468 Ha, dan tanah kering 689.60 Ha. Diantara tanah kering beberapa difungsikan untuk pekarangan (10.377 Ha). Tegal/kebun (6.994 Ha). Ladang Huma 31.548 Ha serta hutan adat yang dijadikan milik negara seluas 126.187 Ha. Namun demikian Kecamatan Amarasi meletakkan ekonomi perladangan sebagai tulang punggung perekonomiannya. Dua komoditi andalannya adalah Jagung dan Padi ladang. Biasanya mereka menanam jagung dan Padi bukan untuk dijual ke pasar melainkan untuk konsumsi sendiri.
Dalam ekonomi perladangan, tingkat produktivitas ekonomi akan sangat tergantung pada musim. Pada musim kemarau tentu akan mengalami paceklik. Untuk mengatasi hal ini masyarakat biasanya akan menjual barangnya untuk membeli beras. Selain ladang, masyarakat Amarasi juga mempunyai komoditi kelapa (kira-kira 500 pohon) dan kemiri (688) pohon. Untuk tanaman kemiri memang tidak terdapat di seluruh wilayah Amarasi begitu juga dengan tanaman sayur-mayur seperti sawi, kol, wortel dan kentang, semua hanya dapat dijumpai di Tesbatan. Daerah yang sangat subur di Amarasi dengan air terjun yang digunakan sebagai andalan perairannya.
Diluar sektor pertanaian Amarasi juga mengandalkan sektor peternakan, terutama sapi. Sapi yang diternak biasanya menggunakan sistem paron. Namun sektor ini juga mengalami saat-saat krisis ketika terjadi serangan kutu loncat pada tanaman lamtoro yang merupakan pakan utama ternak, Krisis pakan ini akhirnya menyebakan penurunan jumlah poduksi sapi.
Dalam sektor perdagangan, Amarasi merupakan penghasil pasir dan batu gamping. Jumlah cadangan batu gamping di Kecamatan Amarasi adalah sebesar 781,2 juta meter kubik. Penggalian pasir terdapat di desa Merbaun dan Pakubaun. Sedangkan batu putih (gamping) dapat diusahakan di empat desa yaitu Retraen, Ponaen, Kotabes dan Buraeng, dengan jumlah penambang lebih dari 120 orang.
Amarasi mempunyai lembaga perbankan, namun belum semuanya dapat diakses oleh seluruh rakyat Amarasi. Misalnya adanya Bank Rakyat Indonesia, hanya bisa menjangkau sampai di Oesao, di wilayah Kupang Timur. Dan kebanyakan dari masyarakat yang menggunakan fasilitas perbankan adalah pegawai negri, sehingga dapat diakatakan minat masyarakat terhadap perbangkan sangat rendah.
Begitu juga dengan fasilitas ekonomi yang tidak terlalu kompleks, tidak ada pedagang besar lintas Amarasi, yang ada hanya pedagang kecil/mikro yang berjualan di sekitar kios-kios desa. Jumlahnya kira-kira 289 kios di Kecamatan Amarasi. Adanya KUD sebagai Koperasi Unit Desa, membantu dalam hal pemasaran hasil produksi masyarakat Amarasi (baik anggota maupun bukan). KUD biasanya akan melakukan negosiasi dengan pengusaha di Kupang sebagai penampung dan pedagang besar. Dengan demikian KUD bertindak sebagai broker atau perantara. Keuntungan yang diperoleh KUD biasanya berkisar antara 0-40%. Dan keuntungan ini akan dikembalikan kepada anggota dalam entuk SHU (Sisa Hasil Usaha).
Masalah perekomian yang paling pelik dihadapi oleh masyarakat adalah kehadiran papelele, papalele adalah orang lokal yang bergerak dalam sistem perdagangan sapi. Rantai perdagangan melalui papelele ini membuat harga yang dibeli dari petani sangat rendah, sedangkan pedagang dapat menikmati harga yang cukup tinggi. Papalele ini hampir mirip dengan sistem ijon untuk wilayah Jawa dan sekitarnya. Ia bukan hanya merambah peternakan tapi juga pertanian. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan seperti kemiri dan pisang, dibeli dengan harga yang sangat murah. Bahkan ketika belum masakpun sudah ditebas. Sebenarnya ada keinginan dari masyarakat untuk memasarkan sendiri hasil-hasil tersebut, namun mereka terbentur dengan biaya transportasi yang bukan saja mahal tapi juga langka, keculai jika punya kendaraan sendiri. Fenomena ini sudah sangat lama terjadi dan menggelisahkan masyarakat, namun mereka tidak tahu apa yang dapat mereka lakukan untuk itu.
E.2.2. Sistem Adat dan Kefetoran Kefetoran Di Amarasi
Amarazi dibagai dalam empat Kefetoran yaitu Baun, Merbaun Siba dan Oekebiti. Jika dikaji Kefetoran adalah pemerintahan setingkat dengan kecamatan. Masing-masing Fetor dipilih dari kelompok Marga yang dianggap paling kuat, misalnya Kefetoran Oekebiti dipimpin oleh keluarga dari marga Abineno. Kefetoran Baun dari marga Taninti, Kefetoran Merbaun dari keluarga Antiran dan Soba berasal dari marga Kapitan.
Kefetoran oleh Belanda ditempatkan dibawah pemerintahan Swapraja. Pemerintahan Swapraja dipilih oleh seorang Raja (Regent) yang biasanya diambil dari penguasa tradisional. Misalnya untuk Swapraja Kupang Rajanya berasal dari marga Nisnone. Sedangkan Fetor (orang kedua dalam bahasa Timor) artinya adalah orang kedua. Dibawah Kefetoran terdapat desa-desa yang dipimpin oleh seorang Temukung. Temukung terdiri dari dusun-dusun yang dipimpin oleh Barnemen (Kepala Kampung). Kepala kampung mempunyai bawahan yang disebut dengan Makapa (kaki ringan), yang bertugas untuk menyebarkan perintah dan memberikan berita dari penguasa kepada seluruh warga, kerjanya hampir mirip dengan tukang pos. Karena itu untuk tugas ini biasanya dipilih dari seorang warga dengan postur tubuh yang tinggi, pandai bicara dan lari yang cepat, karena terkadang untuk memudahkan penyebaran informasi Makapa akan naik gunung dan menggemakan suaranya dengan alat dari bambu sehingga terdengar suaranya diseluruh penjuru.
Tugas seorang Fetor adalah membantu kerja Swapraja menarik pajak, menyelesaikan pertikaian yang terjadi antar warga termasuk menjaga wilayah Kecamatan dari segala ancaman dan gangguan dari dalam maupun dari luar wilayahnya. Disamping itu Fetor juga berhak atas hasil bumi (upeti) dari Temukung-temukung yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Fetor juga menghadiri pesta yang diadakan oleh penduduk, untuk itu penduduk yang ingin mengundang Fetor akan menyampaikan kepada Temukung. Kemudian penduduk yang mengadakan pesta bersama Temukung menjemput Fetor dengan Kuda atau tandu ke tempat pesta. Setelah selesai penduduk yang mengadakan hayatan akan memeberikan persembahan berupa beras dan babi.
Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga Raja dan Fetor, setiap hari warga secara bergilir akan menyediakan tenaga untuk kebutuhan seperti mencuci, masak, membersihkan rumah termasuk tugas-tugas rumah tangga yang lain. Disamping itu dalam setiap Temukung masyarakat mempunyai Kebun Kolektif yang disebut dengan Etu. Setiap panen, hasil kebu kolektif tersebut akan dikirimkan ke gudang milik Fetor dan Raja. Selain itu penduduk juga masih harus mebayar pajak pribadi dalam bentuk uang Belanda yang disebut Naiknuif. Sampai di disini sistem kekuasaan tradisional di Timor hampir tidak bisa dibedakan secara tegas mana kepemilikan pribadi dan mana kepemilikan kolektif karena Raja dan Fetor sekaligus berkuasa atas pemilikan tanah (Land Lord). Namun hal ini mengalami perubahan cepat setelah adanya perubahan perundang-undangan pemerintahan (setelah zaman Swapraja).
Namun setelah perubahan perundang-undangan pemerintahan (setelah zaman Swapraja) Amarasi dibagi dalam tiga Kefetoran, yaitu Baun dengan Fetornya dari marga Koroh dengan 20 temukung. Kefetoran Buraeng oleh marga Taninti 20 temukung dan Oekebiti oleh marga Abineno dengan 27 Temukung. Pergantian Undang-Undang tersebut diikuti dengan penggabungan tiga Kefetoran tersebut dalam satu kecamatan, Amarsi. Dan ibukotanya kemudian dipindahkan ke Oekebiti dibawah kekuasaan marga Abineno. Akan tetapi Camat Amarasi yang pertama tetap berasal dari Marga Koroh, padahal secara administratif dan geografis wilayah Baun jauh terpisah dari 2 Kefetoran lainnya. (l2 km dari Kota Kupang).
Hadirnya struktur baru ini menimbulkan beberapa implikasi pada penguasa Kefetoran lama. Jabatan Camat yang diangkat oleh pemerintah mempersempit ruang bagi keturunan Fetor untuk menduduki Jabatan tersebut, sehingga yang terjadi adalah perpindahan perebutan jabatan politik pada level kecamatan ke desa dimana marga dominan masih tetap mempunyai pengaruh dalam masyarakat termasuk dalam setiap pemilihan pilkades.
Kemudian dari segi kebiasaaan adat yang kekuasaan semula ada di tangan Fetor, sekarang menjadi terpecah-pecah, begitu juga dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada Fetor dan Camat keduanya makin rancu. Kerancuan ini pertama disebabkan karena masyarakat belum terbiasa dengan sistem ini, sehingga sistem adat yang diadopsi menimbulkan beberapa konflik antara pemangku adat maupun struktur pemerintahan atau Camat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam perjalanannya banyak masyarakat yang lebih mempercayai tokoh adatnya dari pada Kepala Desa mereka, yang menurut Undang-Undang ditetapkan oleh Kabupaten. Banyak peristiwa-periatiwa yang membuat kecemburuan tokoh adat terhadap Kepala desa yang dipilih oleh Kabupaten. Seperti pengakuan J. B Abineno dalam suatu wawancara di Oekebiti, Kecamatan Amarazi. Beliau adalah Fetor terakhir di Oekebiti sebelum Kefetoran dan Ketemukungan dihapus. J. B. Abineno mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap pemerintah lantaran, pertama, sebagai pemangku adat dia diserahi untuk menjaga hutan. Namun tidak ada gaji sesenpun diterima. Sementara petugas dari perhutani digaji setiap bulannya.
Kedua, hak belis (penyerahan bingkisan yang dahulu diperuntukkan Fetor sebagai penguasa) sekarang justru diserahkan kepada Kepala desa setempat beserta Camat. Sedangkan Fetor tidak mendapat apa-apa. Padahal dalam acara ritualnya pernikahan misalnya Fetorlah yang mengesahkan apakah mereka sah sebagai suami-istri atau belum menurut adat. Pemerintah seperti kepala desa dan camat hanya berkepentingan terhadap administratifnya saja.
F. MARGINALISASI MASYARAKAT ADAT
Marginalisasi masyarakat adat terjadi ketika masyarakat tidak bisa lagi menentukan nasibnya dengan sistem adat dan aturan yang mereka punya. Dimana pemangku adat tidak punya kekuasaan kembali atas hukum-hukum adat yang mereka jalani. Serta keterbatasan akses terhadap dunia luar yang membelenggu mereka dalam keterasingan yang berkepanjangan. Marginalisasi dapat terjadi dalam tiga aspek, yaitu politik, sosial-budaya dan ekonomi. Keempatnya terkadang sangat susah dipisahkan karena mempunyai beberapa kaitan yang sangat erat.
F.1. Marginalisasi Politik
Marginalisasi politik biasanya selalu dimulai dengan perubahan kebijakan perubahan perundangan-undangan dari pemerintah. Perubahan yang berlangsung di negara kita dengan sistem penyeragaman dengan Undang-Undang No 74, ternyata justru membuat masyarakat adat termarjinalkan. Kekuasaan mereka semakin sempit. Peluang untuk menduduki jabatan struktural hanya segelintir orang yang mampu meraihnya, Keterbatasan ini biasanya berkaitan dengan dua hal. Pertama, sistem pemerintahan adat biasanya dilakuakan berdasarkan garis keturunan. Ataupun marga dominan yang menjadi penguasa dalam suatu wialyah. Sementara dengan struktur baru keputusan menduduki jabatan struktural segalanya diatur dari pusat.
Kedua, Akses masyarakat adat terhadap pendidikan, termasuk informasi sangat terbatas, sementara pemerintah telah menetapokan standart kepemimpinan dalam suatu pemerintahan untuk tingkat desa sekalipun. Perubahan ini tentu menimbulkan rasa tidak puas dan cemburu yang berkepanjangan. Contoh kasus adalah yang terjadi di Amarasi, kususnya di Kefetoran Oekebiti. J.B Abineno, Fetor terakhir di Oekebiti yang menjadidi sasksi sejarah hilangnya kekuasaan adat yang ada di daerahnya.
Setelah perubahan perundang-undangan pemerintahan (setelah zaman Swapraja) Amarasi dibagi dalam tiga Kefetoran, yaitu Baun dengan Fetornya dari marga Koroh dengan 20 temukung. Kefetoran Buraeng oleh marga Taninti 20 temukung dan Oekebiti oleh marga Abineno dengan 27 Temukung. Pergantian Undang-Undang tersebut diikuti dengan penggabungan tiga Kefetoran tersebut dalam satu kecamatan, Amarsi. Dan ibukotanya kemudian dipindahkan ke Oekebiti dibawah kekuasaan marga Abineno. Akan tetapi Camat Amarasi yang pertama tetap berasal dari Marga Koroh, padahal secara administratif dan geografis wilayah Baun jauh terpisah dari 2 Kefetoran lainnya. (l2 km dari Kota Kupang).
Hadirnya struktur baru ini menimbulkan beberapa implikasi pada penguasa Kefetoran lama. Jabatan Camat yang diangkat oleh pemerintah mempersempit ruang bagi keturunan Fetor untuk menduduki Jabatan tersebut, sehingga yang terjadi adalah perpindahan perebutan jabatan politik pada level kecamatan ke desa dimana marga dominan masih tetap mempunyai pengaruh dalam masyarakat termasuk dalam setiap pemilihan pilkades.
Kemudian dari segi kebiasaaan adat yang kekuasaan semula ada di tangan Fetor, sekarang menjadi terpecah-pecah, begitu juga dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada Fetor dan Camat keduanya makin rancu. Kerancuan ini pertama disebabkan karena masyarakat belum terbiasa dengan sistem ini, sehingga sistem adat yang diadopsi menimbulkan beberapa konflik antara pemangku adat maupun struktur pemerintahan atau Camat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam perjalanannya banyak masyarakat yang lebih mempercayai tokoh adatnya dari pada Kepala Desa mereka, yang menurut Undang-Undang ditetapkan oleh Kabupaten. Banyak peristiwa-peristiwa yang membuat kecemburuan tokoh adat terhadap Kepala desa yang dipilih oleh Kabupaten. Seperti pengakuan J. B Abineno dalam suatu wawancara di Oekebiti, Kecamatan Amarazi. Beliau adalah Fetor terakhir di Oekebiti sebelum sistem Kefetoran dan Ketemukungan dihapus. J. B. Abineno mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap pemerintah lantaran, pertama, sebagai pemangku adat dia diserahi untuk menjaga hutan. Namun tidak ada gaji sesenpun diterima. Sementara petugas dari perhutani digaji setiap bulannya.
Kedua, hak belis (penyerahan bingkisan yang dahulu diperuntukkan Fetor sebagai penguasa) sekarang justru diserahkan kepada Kepala desa setempat beserta Camat. Sedangkan Fetor tidak mendapat apa-apa. Padahal dalam acara ritualnya pernikahan misalnya Fetorlah yang mengesahkan apakah mereka sah sebagai suami-istri atau belum menurut adat. Pemerintah seperti kepala desa dan camat hanya berkepentingan terhadap administratifnya saja.
Kecemburuan yang sama terjadi hampir di seluruh daerah, termasuk TTS. Namun ada sedikit perbedaan dari wilayah ini. Pertama, karena letak TTS yang jauh dari ibukota propinsi, membuat penghormatan mereka terhadap tokoh adat yang ada jauh lebih termanifes dari pada di Amarazi. Kedua, masyarakat TTS lebih erat dari sisi adat dan kekerabatan, sehingga walaupun struktur dirubah dalam bentuk formal, ritual adat tidak pernah berubah, walaupun mengalami erosi serius.
F.2. Marginalisasi Ekonomi
Kepentingan ekonomi seringkali menjadi dilema serius dalam penempatannya, apakah ia akan ditempatkan dalam suatu sistem pembelaan masyarakat yang akan berwujud dengan pembukaan lapangan kerja, pengurangan pengangguran dan peningkatan kesejahteraan seperti yang diangkapkan oleh Todaro. Ataukah dia menjadi suatu roda kekuasaan dimana kapitalisme justru menjadi roda penggilas bagi masyarakat yang lemah dan tertindas.
Penindasan yang berdampak terhadap marginalisasi adatpun dapat dibahas dalam empat level. Pertama, penindasan yang dilakukan dengan perubahan perundangan. Ini masih erat kaitannya dengan semakin besarnya kekuasaan negara dan semakin sempitnya kekuasaan adat terhadap penguasaan atas tanah dan kekuasaan atas struktur kepemimpinan lokal. Kedua, penindasan yang dilakukan murni umtuk kepentingan ekonomi kapitalisme. Kepentingan-kepentingan ini kadang saling berbenturan anatara kepentingan masyarakat adat secara keseluruhan maupun kepentingan pemerintah dan penanam saham.
Ketiga, namun marginalisasi ini dapat juga dipahami karena keterbatasan adat terhadap penguasaan akses-akses ekonomi masyarakat terhadap struktur ekonomi yang lebih besar. Mereka lemah dari segi penjualan (penawaran). Hal ini berkait dengan minimnya informasi dan pengetahuan tentang ekonomi disatu sisi dan keterbatasan transportasi yang membuat mereka tidak dapat secara langsung memasarkan hasil produksi pertanian ke pusat perekonomian.
Keempat, kurangnya krativitas masyarakat membuat sistem produksi tidak berubah dan hasil produksi tidak dapat meningkat drastis per-tahunnya. Kondisi ini semakin dipersulit dengan kondisi alam yang kurang bersahabat, seperti iklim dan minimnya pengairan di NTT.
F.3. Marginalisasi Sosial - Budaya
Tidak jauh berbeda, marginalisasi ini berkaitan dengan erat penuasaan atas tanah-tanah suci milik adat yang hendak dijadikan sebagai salah satu komoditi ekonomi di NTT. Namun dalam beberapa hal pemerintah, melakukan kesalahan serius berkaitan dengan perubahan undang-undang atas tanah ada menjadi tanah negara.
Sumber-sumber agraria yang ada dari bekas jajahan Belanda erat kaitannya dengan sistem tenurial (tenure system), atau sama artinya dengan sistem penguasaan atas sumber daya agraria dalam suatu masyarakat. Kata tenure berasal dari bahasa latin tenere yang artinya memelihara, memegang dan memiliki. Menurut Wiradi (1984) istilah ini biasa dipakai dalam uraian membahas masalah penguasaan sumber daya.
Dalam setiap tenure masing-masing setidaknya mengandung tiga komponen, pertama, Subyek hak. yang berarti pemangku hak atas siapa hak tersebut diletakkan. Subyek hak ini bervariasi, bisa dari individu, rumah tangga, kelompok suatu komunitas, kelembagaan sosial ekonomi bahkan lembaga politik setingkat negara.
Kedua, Objek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh di atas tanah. Barang-barang tambanga atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barang-barang atau mahkluk hidup dalam suatu kawasan perairan, kandungan barang-barang atau makhluk hidup maupun kawasan atau wilayah udara tertentu. Untuk hak obyek bisa bersifat total, bisa juga bersifat parsial. Misalnya seseorang yang mempunyai hak atas pohon sagu maka dengan sendirinya dia juga berhak atas tanah dimana pohon tersebut berdiri.
Ketiga, jenis haknya, setiap hak dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut yang membedakan dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang dari hak milik, sewa, hingga hak pakai, dan lain sebagainya tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menentukannya. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain (mulai dari individu hingga negara) dan berlakunya dalam setiap kurun waktu tertentu.
Dengan melihat sistem ini, maka beberapa kasus yang ada baik di SoE maupun Amarazi berkaitan dengan hal ini. Pertama kasus penggalian gunung marmer di SoE, yang memulai perencanaannya di tahun 1997, oleh investor raksasa Hasta Karya. Kira-kira sudah sebesar Rp 3 M dana yang dikeluarkan untuk penggalian gunung Marmer tersebut. Mulai dari perencanaan sampai beberapa titik awal proses penggalian ini. Proses sosialisasi yang sudah dilakukan antara lain, pertama bermitra dengan masyarakat. Investor membuatkan Lopo sebagai salah satu tempat untuk berdiskusi. Kedua, beberapa putra daerah yang notabene masih keturunan Raja disekolahkan ke Jawa dengan harapan nantinya bisa ikut andil dalam penambangan ini. Ketiga, membuat jalan tambahan agar tidak merusak jalan rakyat. Dari hal tersebut sebenarnya 80 persen masyarakat sudah merespon dengan baik dan pada dasarnya mereka setuju.
Namun ada beberapa hal yang dianggap Fatal oleh masyarakat, yang akhirnya menyebabkan kegagalan proyek ini. Pertama, Investor datang tidak dengan membawa satu hal penting yang sangat dihormati oleh penduduk setempat, yaitu Okomama. Okomama adalah wadah tempat sirih pinang yang terbuat dari daun lontar. Di dalamnya berisi seperangkat bahan-bahan untuk nginang serta sejumlah uang. Okomama merupakan simbol ‘pendekatan’. Orang yang datang dengan membawa Okomama akan dianggap sebagai saudara dan akan diterima dengan sangat baik. Dalam sejarahnya Okomama digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan pertengkaran, ataupun perselisihan. Okomomama membuat masyarakat menjadi tenang. Hal penting yang lain Okomama membawa simbul ‘persaudaraan’.
Walaupun dalam perjalanannya Okomama sering digunakan untuk kepentingan politik. Misalnya, saat menjelang pemilu Okomama bahkan tidak jarang digunakan sebagai alat untuk kampanye. Kasus lain misalnya ketika orang asing datang dan meminta sepenggal tanah dengan Okomama, biasanya mereka akan memberikan sebagaian dari tanah ladang atau sawahnya sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah. Namun tidak jarang kemudian tanah ini dijual lagi kepada orang yang berbeda. Selain membuat tanah menjadi terpecah, penguasaan atas tanah dalam perjalanan berikutnya menjadi sangat tidak terkontrol.
Kedua, investor kurang membuat pendekatan secara antropologis terhadap kebiasaan masyarakat Timor khususnya TTS, terutama berkaitan dengan kebiasaan ritual mereka. Seperti diketahui bahwa orang TTS khususnya sangat erat dengan penghormatan terhadap alam semenjak nenek moyang mereka. Mereka mengenal tiga semboyan dalam mengarungi hidup, yaitu Fautnakaf artinya batu yang bertuah, Oenakaf atau air yang bertuah serta Haukanaf atau pohon yang bertuah. Untuk itu mereka selalu membuat penghormatan terhadap ketiganya di tempat yang mereka anggap sakral atau kudus. Di salah satu sisi tempat marmer tersebut akan digali ada satu tempat penyembahan masyarakat, yang sebelumnya kurang diteliti terlebih dahulu. Tentu ini membuat masyarakat menjadi sangat kecewa.
Ketiga, kedatangan para investor tidak disertai dengan upacara ritual yang selalu dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai penghormatan terhadap penguasa yaitu Euis Neno, atau dewa dunia langit. Euis Pah atau dewa bumi dan Euis Oei atau dewa air dan laut. Dalam kebiasaan mereka masyarakat TTS penghormatan terhadap dewa bumi dilakukan dengan ‘jatuhnya tetesan darah membasahi bumi’ sebagai tanda tunduk, hormat dan taat terhadap tanah dan bumi yang bertuah serta Euis Pah sebagai penguasa.
Keempat, dalam proses musyawarah yang sudah dilakukan dengan masyarakat di dalam Lopo yang sudah dibuat oleh investor ada satu kesalahan fatal. Kesalahan tersebut adalah delapan Amaf yang ada waktu itu tidak duduk bersama dalam satu diskusi untuk pengambilan keputusan. Kebiasaan orang TTS dalam menghadapi setiap permasalahan dalam wilayah regional diwajibkan kepada delapan Amaf yang ada agar duduk bersama membahas setiap keputusan.
Kelima, dalam kasus marmer ini adalah tidak ada seorang feotnai-pun (Feotnai adalah saudara perempuan Amaf atau raja. Feotnai mempunyai kedudukan yang penting dalam setiap pengambilan keputusan oleh Amaf ataupun Raja), yang disekolahkan ke luar daerah. Selain menimbulkan kecemburuan di antara para Fetnai, perselisihan antar kelompok semakin dikobarkan dengan semangat masing-masing komponen adat dalam mendapatkan haknya.
Keenam, adalah alasan yang berkaitan dengan struktur geografis di SoE yang selama ini dianggap sebagai salah satu dataran tinggi yang mempunyai sumber air terbesar di NTT . Dari sumber air ini dapat mengairi wilayah beberapa wilayah NTT yang ada dibawahnya. Walaupun untuk pendapat terakhir ini ada beberapa organisasi yang menyanggah dengan asumsi “tidak akan mungkin air dapat sampai ke Kupang dan sekitarnya dengan struktur tanah yang sangat kering seperti NTT’.
Ketuju, berkaitan dengan penggunaan Jalan untuk kepentingan penambangan marmer membuat banyak jalan rakyat sebagai satu-satunya jalur transportasi menjadi terhambat, bahkan rusak. Sebagai konsekuensi seperti diungkap diawal sebenarnya investor sudah bayak membuat jalur alternatif, namun sepertinya itu belum cukup dan masih banyak menggunakan jalur utama milik rakyat. Akibatnya rakyat semakin merasa dirugikan.
Terakhir berkaitan dengan penambangan adalah Pabrik yang direncanakan akan didirikan justru diluar SoE. Ini bahkan sangat tidak masuk diakal oleh penduduk setempat. Harapan mereka tentu agar mereka juga dapat menikmati hasil dari berdirinya pabrik tersebut. Namun jika Pabrik-pun didirikan di luar daerah maka masyarakat merasa hanya dijadikan sebagai tempat eksploitasi semata.
Pendapat ini tentu tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Karena dalam masyarakat sendiri ada pendapat yang berbeda. Sebagaian dari mereka ada yang menyetujui penambangan marmer tersebut sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekitar. Pemikiran mereka sebenarnya sudah banyak dipengaruhi oleh sistem pengelolaan alam, sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan seperti “Buat apa kita punya gunung Marmer kalau rakyat sekitar hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan?” Namun pertanyaan ini sering kontradiktif dengan masyarakat yang tidak setuju penambangan Marmer ini, “Buat apa gunung Marmer kita ditambang jika Investor saja yang diuntungkan?’ Kenapa rakyat sekitar harus menjadi buruh di rumah sendiri. Pertentangan ini menjadi suatu polemik yang menggelisahkan.
Persekutuan Masyarakat Adat Mollo, tgl 8 Agustus l999 mengeluarkan Pernyataan penolakan terhadap proyek pertambangan tersebut berdasarkan pertimbangan. Pertama, Lokasi pertambangan dan proyek yang mau ditambang dalam hal ini gunung Fatu Nanusu, Fatu Anjaf dan Fatu Nua Mollo merupakan gunung batu keramat dan suci milik masyarakat adat Mollo dan Timor umumnya dimana disitu masyarakat melakukan upacara adat. Kedua, Dalam gunung batu tersebut yaitu Fatu Nasusu dan Fatu Anjaf sementara tersimpan benda-benda purbakala seperti kumbang, poci, muti patung, alu, lesung serta kuburan nenek moyang dan lain-lain. Benda-benda ini selama ini mereka pelihara karena dianggap memiliki nilai sejarah dan religius yang tinggi. Barang-barang tersebut termasuk dalam situs purbakala yang harus dilindungi dan dilestarikan menurut Dirjen Purbakala sekitan tahun 1990-an.
Ketiga, Gunung batu Fatu Nasusu dan Fatu Anjaf merupakan ibu batu yang menyusui seluruh tanah Timor karena dari sinilah mengalir sumber mata air yang bermuara pada daerah aliran sungai Noelmina, Noelbnenain serta mensuplai air bagi daerah yang ada di pulau TTS. Keempat, Fatu Nasusu, Fatu Anjaf dan Fatu Nua Mollo merupakan bagian dan wilayah seluas 12.000 ha yang oleh menteri Kehutanan RI telah ditetapkan sebagai kawasan Cagar alam gunung Motis, serta sebagai kawasan hutan lindung gunung Mutis-Timau, seluas 25.000 ha. Yang salah satu fungsinya adalah daerah resapan air.
Kelima, PT Karya Hasta Alam dan PT Kawan Setia Pramesti telah melanggar hukum hukum usaha pertambangan karena belum memiliki ijin lokasi serta belum menyelesaikan AMDAL namun mereka telah melakukan eksploitasi. Alasan yang lain meraka tidak melibatkan partisipasi masyarakat TTS khususnya di Mollo. Keenam, Kemungkinan adanya erosi tanah akibat ledakan dinamit dan penggunaan alat-alat berat oleh kedua PT tersebut merusak tekstur tanah yang kedalamannya sangat dangkal atau hanya berkisar < 9 cm dan kimiringan berkisar 43,90 m.
Dengan dasar tersebut diatas masyarakat mengeluarkan tuntutan yang ditujukan kepada menteri Pertambangan dan Energi, pada tgl yang sama, isinya antara lain pertama, Pemda Tingkat I Nusa Tenggara Timur agar segera menghentikan segala bnetuk bentuk pertimbangan di Fatu Nasusu, Fatu Anjaf dan Fatu Nua Mollo serta mencabut izin pertambangan dari PT Kasya Hasta Alam dan PT Kawan Setia Pramesti.
Kedua, Pemda Tk I Nusa Tenggara Timur agar membatalkan semua izin dan rencana pertambangan marmer di TTS karena mengancam keselamatan manusia, hewan, tumbuhan serta pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Ketiga, Pemda Tingkat I NTT agar segera mengembalikan pengelolaan dan pemanfaatan Fatu Nasusu, Fatu Anjaf dab Fatu Nua Mollo kepada masyarakat adat Mollo agar digunakan sesuai dengan fungsinya semula sebagai salah satu penghormatan terhadap sejarah, kebudayaan dan hak-hak masyarakat adat Mollo untuk menentukan nasib diri sendiri.
Keempat, Pemda Tingkat I NTT, DPRD, Pemda Tingkat II TTS, DPRD TTS harap segera menghentikan segala rekayasa dan manipulasi yang dilakukan oleh PT Karya Hasta Alam, dan segera mengganti tuntutan masyarakat akan segala kerugian dan kerusakan akibat dari eksploitasi dan eksplorasi yang sudah dilakukan mulai tahun 1997/1998. Terakhir, agar PT Karya Hasta Alma dan PT Kawan Setia Pramesti segera memberi ganti rugi terhadap segala dampak yang ditimbulkan selama eksploitasi yang dilakukan dan mengembalikan rona kehidupan semula.
G. PENGUATAN (PEMBERDAYAAN) YANG PERNAH
DILAKUKAN
G.1. Penguatan oleh LSM-LSM Setempat
Dengan bantuan dari beberapa teman NGO, kasus penambangan marmer ini memang akhirnya berhenti, investor angkat kaki dari SoE dengan penuh rasa kecewa dan kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Namun disisi lain penyesalan bertubi-tubi mencul dalam benak masyarakat. Dengan perginya investor mereka banyak kehilangan peluang untuk berdagang, Jeruk sebagai hasil unggulan SoE, koran ataupun sekedar menjajakan koran, rokok dan kemasan air mineral. Mereka juga kehilangan kesempatan untuk medapatkan beberapa pekerjaan yang ditawarkan kepada mereka. Kekecewaan terakhir adalah tidak ada tindak lanjut sama sekali dari LSM-LSM yang sudah memberi dukungan dan advokasi pada kasus ini. Pasca kasus gagalnya penambangan marmer di SoE masyarakat ditinggalkan tanpa ada satu solusi yang memberikan pemecahan bagaimana seharusnya masyarakat bertindak lebih lanjut.
Kekecewaan beruntun datang juga dari pemerintah setempat. Pertama, berkaitan dengan masalah kepercayaan yang diberikan investor terhadap pemerintah dan rakyat NTT secara keseluruhan. Kedua, dengan kasus ini sebenarnya dianggap sebagai salah satu terobosan bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan mereka. Apakah rakyat akan dibiarkan melarat, terbelakang dan miskin terus-menerus padahal mereka tidur dalam tumpukan harta karun? Pendapat-pendapat yang ada diatas memang sangat kontroversial, belum lagi jika mendengarkan beberapa keluhan dari investor yang jelas-jelas telah rugi dalam jumlah Rupiah yang tidak sedikit.
Pengabdian terhadap hukum adat dalam perumusan strategi pembangunan, hukum, kebijakan, dan manajemen tanah dan sumber alam disatu pihak serta berkembangnya investasi yang beroriantasi bisnis di pihak lain telah memunculkan ancaman bagi berlanjutnya komunitas lokal yang semakin terpojok dengan kebijakan yang ada. Ekspresi situasi konflik ini pada umumnya bermuara pada melemahnya komunitas lokal. Ini tergantung pada daya adaptasi komunitas. Namun ada suatu model mainstream yang umum dapat dimengerti sebagai suatu skema konseptual yang saling berhubungan antara tiga komponen ini. Setidaknya ada tiga faktor kehancuran hubungan masyarakat adat dengan tanah beserta hasil-hasilnya.
Pertama, Adanya Unifikasi (penyeragaman) konsep penguasaan tanah masyarakat adat yang majemuk dan marginaslisasi posisi hukum adat dan institusi adat serta hak-haknya atas sumber daya agraria. Pembuat UUPA 1960, yang juga dianut oleh Undang-Undang No Kehutanan 1967 dan Undang-Undang No Pertambangan menyakini adanya dua konsep hak tanah yang terdapat dalam masyarakat hukum adat di Indonesia a). Konsep tentang hak ulayat (beschikkingsrecht) yang merupakan hak-hak publik dari persekutuan hukum adat. Konsep kedua b)adalah hak milik adat (Inlands bezitsrecht) yang merupakan hak-hak perdata milik perorangan anggota persekutuan hukum adat yang mereka peroleh melalui tindakan membuka hutan primer. Sedangkan dalam kehidupan nyata di lapangan terdapat keberagaman konsep hak sesuai dengan adat masing-masing.
Keterbatasan pengetahuan mengenai konsep hak tanah ini seringkali membuat banyak kasus tentang tanah adat disamaratakan dengan hak ulayat terhadap semua hak milik bersama. Artinya ladang berpindah, hak atas hutan, perburuan, padang-padang ruang penggembalaan ternak maupun dusun sagu yang sebenarnya menurut tradisi masyarakat setengah dikuasai oleh hak perdata dalam lingkungan kerabat (kerabat unilinial:baik patrilineal maupun matrilineal) sebagai satuan kekeluargaan yang bersifat perdata diperlakukan sama dengan hak ulayat yang merupakan milik publik. Sengaja atau tidak dalam hal ini telah terjadi pencampuradukan yang sangat keliru. Bahkan pemukulrataan hak-hak perdata ini sering dirasa tidak adil.
Akibat sistem hukum agraria nasional yang menganut unifikasi hukum, atau tidak memberi ruang hidup pada pluralisme hukum maka posisi hukum adat dan hak-hak yang terkandung dalam sistem tenurial mereka tetap berada pada posisi yang marginal. Bahkan yang terjadi lebih jauh adalah negasi yang mengahancurkan fondasi keberlanjutan kehidupan budaya-budaya masyarakat setempat. Proses inipun kemudian dipercepat pula dengan pandangan unifikasi yang sama yang dianut dalam lainnya seperti UUP Pemerintahan desa 1979.
Pada proses berikutnya semakin banyak tanah-tanah yang dikuasai oleh negara. Di satu pihak karena hak ulayat dianggap oleh pembuat Undang-Undang dalam hal ini UUPA 1960 sebagau suatu hak publik, yang nilainya dianggap sama dengan milik negara. Sehingga dalam konteks nasional muncul adanya pandangan baru tentang ‘Hak Ulayat Negara. Konsekuensi adanya angapan ini adalah adanya kewenagan yang semua dipegang oleh Kepala-kepala atau pimpinan yang memiliki otoritas dari persekutuan hukum adat dalam mengatur lalu lintas penggunaan tanah hak ulayat untuk kepentingan para anggotanya, otomatis beralih kepada kepala pemerintahan sejak diberlakukannya Undang-Undang ini.
Dampak langsung diberlakukannya undang-undang ini secara yuridis yang kemudian terjadi di lapangan adalah hutan-hutan yang tumbuh atas nama hak ulayat secara otomatis berubah menjadi hutan milik negara. Selanjutnya negaralah yang berkuasa menentukan bagaimana dan kepada siapa akan diserahkan penggunaan hutan Hak Ulayat tersebut? Dengan cara ini pula berarti otonomi dari persekutuan hukum adat telah diakhiri oleh Negara. Dalam banyak kasus Negara justru melenyapkan hak-hak langsung dari anggota masyarakat hukum adat untuk memperoleh hasil-hasil dari hutan hak ulayat tersebut, sekalipun untuk keperluan subsistensi. Dengan lenyapnya otonomi masyarakat adat atas Hak Ulayat,. Mereka kehilangan pengakuan akan budaya dan kehidupan kultural mereka.
Contoh kasus nyata yang terjadi di NTT secara keseluruhan termasuk TTS dan Amarasi adalah kasus ‘Kayu Cendana’. Dalam tulisan sebelumnya telah di catat tentang arti penting kayu cendana dalam perdagangan dunia. Dengan adanya UUPA yang baru maka hutan cendana dan setiap batang yang tumbuh dari pohon itu adalah milik negara. Padahal nilai ekonomis jenis kayu ini sangat tinggi. Dan baru dapat dipetik hasilnya setelah melewati kurun waktu kurang lebih 5 dasawarsa (50 tahun). Dalam periode sebelumnya tidaklah demikian, ada aturan adat yang mengatur permasalahan tentang hutan termasuk pembagiannya atas rakyat yang sudat ditentukan oleh pemangku adat yang biasa disebut dengan Manehole. Dan ada peraturan adat yang sangat dihormati oleh masyarakat adat secara keseluruhan, aturan ini disebut dengan ‘Banu’ diatur dengan jelas bagaimana tata tertib penebangan, penanaman, sampai kepada proses pemetikan buah dan sebagainya.
Namun kondisi Banu berubah sejak kurang lebih tahun 1980-an sejak munculnya perda yang mengatur penguasaan tanah atas hak ulayat oleh negara, dengan perbandingan 20% untuk rakyat dan 80% untuk negara. Aturan ini tentu menimbulkan sentimen dikalangan masyarakat. Masyarakat menjadi apatis terhadap tumbuhnya pohon emas tersebut, bahkan mereka tidak segan-segan mencabut pohon itu sampai ke akar-akarnya ketika pohon itu baru tumbuh dini. Banyak pohon dibakar oleh masyarakat sendiri karena mereka merasa tidak bisa menikmati hasil dari benih yang mereka tanam dengan tetesan keringat. Akibatnya terjadi kelangkaan pohon cendana. Melihat hal ini pemerintah memberi respon sekitar 5 tahun terakhir. Prosentase yang didapat oleh pemerintah dan masyarakat dibalik. Masyarakat mendapat 80% hasil penjualan sedangkakan negara 20%. Sayangnya kebijakan ini baru dibuat setelah Pohon cendana benar-benar langka di pulau Timor.
Dengan semakin banyaknya sentimen yang dilakukan masyarakat terhadap kayu cendana dengan mencabut, mencuri ataupun membakarya maka Bupati Kepala Daerah Tingkat II SoE TTS, dan Kupang mengeluarkan surat keputusan tentang Pengamanan dan pengumpulan kayu Cendana di 2 Kabupaten ini. Untuk itu diputuskan adanya suatu Timor pengamanan/pengumpulan kayu Cendana di Kabupaten, yang tugasnya adalah melakukan pengamanan kayu cendana yang masih tersimpan di tangan masyarakat, melakukan pengendalian dan pengawasan serta penertiban peredaran kayu cendana, memberikan bimbingan, penyuluhan dan motivasi tentang kayu candana kepada masyarakat. Tugas berikutnya adalah menginventarisir masalah yang berkaitan dengan pengumpulan kayu Cendana, dan Melakukan rapat Koordinasi Rutin tentang hasil pengumpulan kayu Cendana.
Strategi penguatan yang telah dilakukan oleh teman-teman LSM dapat dilihat dalam beberapa hal. Pertama, capacity building, hal ini berkaitan dengan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap segala kebijakan publik yang menyangkut kepentingan dan aspirasi masyarakat. Partisispasi berkaitan erat dengan pembukaan ruang publik (public space) yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berbicara.
Kedua, strategi advokasi, yaitu dengan menjadi mitra bagi masyarakat dalam berdiskusi dan pengambilan keputusan bersama. Ini dilakukan dengan memberikan bangunan wacana dan kerangka pikir logis agar masyarakat sadar akan haknya dan bisa membuat bargaining dengan pemerintah. Pembangunan wacana ini dilakukan dengan ‘koran masuk desa’, pemberian buletin serta sosialisasi informasi terbaru tentang perundang-undangan termasuk perubahan struktur pemerintahan dan perkembangan ekonomi nasional. Advokasi dilakukan dengan usaha membangkitkan kembali semangat adat yang selama ini nyaris punah.
Strategi lain yang dilakukan adalah pendekatan terhadap Stake Holder yang ada. Baik itu pemangku adat maupun pemerintah desa dan pejabat pemerintahan. Diskusi dan dialog bersama seringkali memberikan ruang bagi masyarakat untuk bersuara, namun sayangnya provokasi yang berlebihan justru membuat garis batas yang jelas antara pemerintah dengan LSM. Pertentangan dan perbedaan prinsip antara keduanya membuat masyarakat justru semakin tidak faham dengan kondisi riil yang sedang meraka alami. Mereka hanya digunakan sebagai ujung tombak yang seringkali salah sasaran. Hal ini berdampak dengan kurang harmonisnya hubungan sejumlah LSM dengan birokrat pemerintah.
G.2. Penguatan oleh Pemerintah dan Partai Politik
Penguatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat adat, pertama terkait dengan birokrasi dan perubahan perundang-undangan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian proses yang berlangsung tetap membutuhkan waktu yang lama. Misalnya kebijaksanaan pemerintah dalam pengaturan kembali penebangan kayu cendana berikut prosentase pembagian antara masyarakat adat dengan pemerintah.
Kedua, pemberdayaan dilakukan pemerintah dengan memberi kesempatan bagi masyarakat adat untuk berekspresi. Hal ini dilakukan dengan pengangkatan ‘pemangku adat’ dalam setiap wilayah kecamatan dan kabupaten. Harapannya mereka akan dapat menjadi juru bicara yang menyangkut kepentingan masyarakat adat secara keseluruhan. Persoalannya, selama visi dan misi yang dibawa oleh masyarakat sama dengan yang disampaikan kepada pemerintah itu akan sangat baik. Namun jika merekapun akhirnya terkontaminasi dengan sistem birokrasi yang dan tidak dapat membawa kepentingan masyarakat akan jadi permasalahan serius.
Ketiga, pemerintah juga melakukan sosialisasi terhadap sitem perundang-undangan yang baru. Namun sayangnya sosialisasi yang dilakukan boleh dikatakan sangat lambat, dan hanya pada level tertentu. Fetor di Oekebiti misalnya, suatu saat menyampaikan sama sekali tidak tahu isi bahkan warna dari Undang-Undang Otda, sehingga dia takut berkomentar.
Strategi berikutnya adalah dengan pendekatan terhadap masyarakat secara langsung. Pemerintah sengaja membuat rancangan-rancangan program yang melibatkan partisipasi masyarakat bersama termasuk menyediakan komisi khusus untuk bantuan hukum. Jika boleh dinilai diakui oleh banyak Pihak Pemerintah kali ini cukup akomodatif terhadap suara masyarakat.
G.3. Pemberdayaan oleh Komunitas Adat
Pemberdayaan oleh mereka dilakukan dengan pembentukan bersama komunitas adat. Di TTS misalnya ada komunitas adat Mollo, Amanuban ataupun Amanatun. Di Amarazi juga hampir disejumlah tempat semua ada. Dalam persekutuan adat ini mereka merundingkan segala kepentingan mereka yang berkait erat dengan adat. Mulai dari kepentingan uapcara ritual, masalah ekonomi hukum adat sampai dengan kasus-kasus perkawinan. Forum ini biasanya hidup sekali. Masyarakat saling berdiskusi dan memberikan masukan yang baik untuk keputusan bersama.
Hal kedua yang dilakukan adalah dengan ikatan bersama untuk kesenian dan kebudayaan adat. Ini dilakukan dengan pertunjukan seni dan budaya masing-masing daerah Timor. Mulai dari kain tenun, makanan ciri khas, tarian sampai dengan hasil bumi andalan. Setiap komunitas adat biasanya akan dikoordinasi oleh orang yang ‘dituakan oleh masyarakat adat’, komunitas ini biasanya mempunyai waktu-waktu rutin untuk berdiskusi dan berkesenian.
Namun sayangnya komunitas adat ini tidak bisa kembali menguatkan posisi masyarakat adat secara jelas dan tegas. Masyarakat adat seperti telah kehilangan ‘taraing’ untuk menghadapai sistem dan struktur pemerintahan yang ada sekarang. Ketidakberdayaan ini dapat terlihat jelas dengan sikap kepasrahan masyarakat akan hak-haknya yang semakin tidak jelas dan termarginalkan. Kedua, kepasrahan mereka sebenarnya juga didasarkan atas kepercayaan kepada pemerintah yang memberikan segala bentuk janji yang menyangkut kesejahteraan masyarakat. Ketiga, toleransi dan sikap masyarakat Timor yang cenderung tunduk dan taat. Ini terlihat dari setiap respon dan dukungan terhadap program-program pemerintah.
Namun sayangnya sikap pemerintah yang seakan ‘menganaktirikan’ pembangunan di wilayah Indonesia Tiumor kebanyakan membuat kekecewaan yang luar biasa. Mereka merasa apa yang telah dilakukan selama ini tidak ada gunanya, bahkan banyak hak mereka diambil alih oleh pemerintah, sejak saat inilah adat cenderung apatis dan lebih memikirkan kebertahanan dari segi ekonomi yang masih tetap menjadi PR panjang sampai sekarang.
H. REKOMENDASI UNTUK AGENDA PEMBERDAYAAN
KE DEPAN
Dari apa yang sudah disampaikan diatas, kita dapat melihat peta permasalan yang ada. Pertama, marginalisasi masyarakat adat, Ini dapat dilihat dalam beberepa aspek. Yaitu marginalisasi dalam bidang politik, yang ditandai dengan hilangnya kekuasaan adat, melemahnya partisipasi masyarakat dalam sistem pemerintahan yang baru, institusi lokal yang semakin tidak berfungsi, serta hilangnya kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Kedua, marginalisasi masyarakat adat dari aspek sosial budaya, yang ditandai dengan melunturnya budaya adat dengan adanya pengaruh globalisasi dan modernisasi. Namun pengaruh dapat juga kita lihat dari dalam masyarakat adat sendiri (internal) hal ini berkaitan dengan rasa putus asa masyarakat adat terhadap hilangnya basis kekuasaan mereka atas tanah, melemahnya rasa kesukuan, dan keterpurukan ekonomi. Dalam kondisi yang seperti ini masyarakat adat lebih memilih berusaha menjangkau keterpurukan ekonomi ketimbang mempertahankan adat yang memang sudah semakin luntur. Ketiga, keterpurukan ekonomi yang ditandai dengan lemahnya kemampuan adat dalam proses tawar menawar.
Rekomendasi Pemberdayaan yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat meliputi beberapa hal, pertama, Peningkatan partisipasi masyarakat (voice, akses maupun rekomendasi terhadap kebijakan pemerintah). Selama kurun waktu lamanya masyarakat telah terkodifikasi oleh sistem dan aturan yang dibuat oleh negara, karena itu kita dapat berusaha menarik batas antara negara dan masyarakat dengan beberapa cara, pertama, meskipun kekuasaan negara berasal dari masyarakat, negara sendiri merupakan organisasi kekuasaan dengan ciri khas tersendiri. Apa sebabnya? Karena negara memiliki kapasitas untuk menyusun kekuasaan dalam kode dan lembaga yang formal serta melegalkan kekuasaannya. Kedua, kemampuan negara untuk menyeleksi antara beberapa bentuk kekuasaan yang berbeda dan memberikan pengenalan yang legal atas bentuk tersebut dan secara bersamaan kemampuan telah memberikan kepada negara status yang sangat spesifik. Dalam hal ini negara juga mempunyai kekuasaan untuk mengintervensi semua aspek kehidupan sosial. Pada kebanyakan masyarakat, negara adalah final dan akhir dari kekuasaan. Partisipasi masyarakat adalah merupakan salah satu cara penting untuk mencegah campurtangan yang berlebihan dari pemerintah terhadap masyarakat. Tugas ini sebagian sudah dilakukan oleh LSM setempat seperti PIAR (Pusat Informasi Advokasi Rakyat), YASMARA (Yayasan Kesejahteraan Masyarakat), SANLIMA (Yayasan Peduli Sesama), YAO (Yayasan Alfa Omega), LAB Timor (Laboratorium Penelitian Timor). Begitu juga dengan peerintahan yang lebih transparan.
Kedua, adanya dialog antara masyarakat dengan pembuatan kebijakan. Ini perlu dilakukan untuk mencegah setiap kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Missink link yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah selama ini setelah dianalsa hanya disebabkan oleh kurang komunikasi dan penyebaran informasi yang lebih luas setiap kebijakan pemerintah terhadap masyarakat. Akibat buruknya konfrontasi dan saling mencurigai acapkali terjadi anatra masyarakat dengan pemerintah.
Ketiga, adanya advokasi dan tindak lanjut, kenapa hal ini sangat penting. Karena beberapa pekerjaan yang dilakukan oleh teman-teman NGO sebenarnya sudah sangat baik. Mereka melakukan pendampingan dan advokasi setiap waktu. Bahkan tidak jarang lembaga memberikan seorang CO (Community Organizer) untuk mendampingi masyarakat saat menghadapi permasalahan. Tetapi kadang kekecewaan masyarakat adalah saat mereka membutuhkan pemecahan lebih lanjut, namun tidak ada tindak lanjut dari teman-teman NGO dalam memberikan rapid respon pasca pendampingan atau program selesai.
Seorang akademisi mengatakan kekecewaannya. Menurutnya sebenarnya masyarakat NTT secara keseluruhan sangat menerima perubahan yang ada, bukan hanya itu masyarakat sangat mendukung program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sayangnya ada beberapa teman NGO yang sering mempuat situasi menjadi sangat tidak kompromis. Misalnya dalam kasus batu marmer di SoE, masyarakat sebenarnyadlm posisi kebingunan, satu sisi mereka menginginkan adanya perubahan perekonomian dengan adanya perusahaan tambang tersebut. Namun di pihak lain mereka tidak mau tempat ibadah mereka dihancurkan.Situasi ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika ada perundingan ada diskusi.
Ketika masalah SoE rame didiskusikan, banyak sekali NGO yang mengambil peran. Boleh dikatakan kasus tersebut dapat dimenangkan. Namun pasca kejadian sama seklai tidak ada tindak lanjut, sehingga masyarakat tetap saja miskin. Tidak ada peningkatan ekonomi, keadaan tetap buruk terjadi kala itu. Inilah yang membuat masyarakat benar kecewa karena teman-teman NGO tidak memberikan solusi apa selanjutanya yang harus dilakukan oleh masyarakat agar semakin berdaya.
Keempat, peningkatan kesejahteraan ekonomi dengan pembukaan akses pasar. Ini sangat diperlukan karena kebanyakan faktor pengahmbat pemasaran hasil produksi pertanian adalah faktor transportasi. Akibatnya banyak hasil pertanian yang menjadi sasaran pengijon dan tengkulak. Mereka yang punya modal bisa mempermainkan harga. Kehadiran koperasi ternyata tidak mampu membawa dampak serius dalam perubahan perekonomian masyarakat.
Kelima, pendidikan politik untuk masyarakat. Perlunya pendidikan didasarkan akan semakin
kurangnya tingkat partisipasi mereka dalam pemerintahan. Rendahnya partisipasi ini dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang konsep-konsep politik, Undang-Undang No dan beberapa kajian tentang pemerintahan maupun pemberdayaan masyarakat. Seperti yang sudah diungkapkan di depan kondisi ‘desa gata baru’ yang telah merombak struktur adat secara keseluruhan ternyata tidak membawa dampak atau perubahan ke arah kemajuan. Masyarakat desa justru lebih banyak kehilangan haknya.
Sebagai sebuah entitas sosial politik, desa mampu menarik perhatian banyak intelektual untuk melakukan pengamatan bahkan intervensi atas berbagai dinamika yang terjadi. Perbincangan tentang dinamika desa mencuat dan memunculkan perdebatan antar penganut berbagai aliran intelektualitas. Robert H. Bates, salah satu penganut pemikiran ortodoks, mengungkapkan bahwa ternyata teori modernisasi telah gagal menjalankan tugasnya sebagai akar pemikiran sosial dalam memahami realitas politik masyarakat pedesaan. Ungkapan yang dimunculkan pada tahun 1960-an ini telah membuat mereka tersingkir dari perdebatan analisis tentang pembangunan politik di negara agraris. Karena kenyataan yang ada tidak seperti yang mereka bayangkan. Dalam perkembangannya masyarakat desa dan petani bukanlah masyarakat yang pasif. Mereka mampu mengalirkan revolusi dan kekuatan besar dalam masyarakat pedesaan serta menentukan arah perubahan dalam masyarakat.
Seringkali pembicaran tentang desa diidentikan dengan Ketertinggalan. Adanya asumsi konvensional yang mengandaikan masyarakat desa berbeda dengan masyarakat kota, membuat penilaian yang cenderung under estimate terhadap desa. Desa cenderung dianggap sebagai kawasan tertinggal, sekaligus sebagai obyek sejarah, bukan saja dalam pemikiran sosial ekonomi, tetapi juga perjalanan politik mereka. Siapa bilang orang desa tidak paham tentang demokrasi? Siapa bilang orang desa tidak mengerti tentang good governance? Sekalipun semuanya dilakukan tidak secara instan yang jelas mereka siap dengan perubahan itu, dan mau menerima pembaruan.
Dalam konteks Indonesia, pembaruan desa tidak dapat berjalan mulus. Sejarah pembaruan desa tiba-tiba saja terputus dengan terjadinya insiden G 30 S/PKI pada pertengahan 1960-an. Masyarakat dijadikan massa mengambang (floating mass) selama 32 tahun. Partisipasi politik masyarakat desa dimandulkan dan digantikan oleh dominasi elite desa. Partisipasi baru muncul pada masa-masa menjelang pemilu, masyarakat seakan kembali “dikenalkan pada politik” dan partisipasi mereka diarahkan untuk mendukung partai pendukung rezim orde baru. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kesadaran politik masyarakat desa dimatikan oleh pemerintah melalui segala macam program maupun lembaga yang sengaja dibentuk untuk desa. Melalui politik massa mengambang (floating mass), pemerintah telah memperdayakan masyarakat (desa) dengan segala bentuk argumennya. Akibatnya desa menjadi mandul dan tak berdaya.
Jika kondisi ini dibiarkan terus, maka tidak akan ada pembaharuan sejarah dalam perkembangan masyarakat desa. Sadar akan persoalan dan realitas diatas maka menjadi PR untuk IRE dalam kegiatan kedepan. Pertama, berangkat dari asumsi bahwa salah satu faktor penting yang menjadi sumber kemiskinan adalah faktor social construction (sosial struktural) yang ada dalam masyarakat itu sendiri, maka pemberdayaan yang dilakukan berupaya meningkatkan kesadaran kritis atas posisi masyarakat dalam struktur sosial politik. Secara praksis, strategi pemberdayaan ini mengambil cara pembelajaran demokrasi melalui “membuka ruang publik”bagi masyarakat dengan adanya diskusi.
Sebagian besar masyarakat desa memandang pembelajaran demokrasi sebagai barang baru bagi mereka. Walaupun sebenarnya mereka sudah sangat dekat dengan kegiatan tersebut seperti rembug desa, diskusi adat dengan lopo sebagai tempat diskusi dan lain-lain dengan mengambil model deliberative democracy, sebenarnya sudah ada. Namun lama ini dimatikan pemerintah dalam kekuasaan dan kooptasi orba, sehingga demokrasi yang ada dalam pemerintahan orba adalah merupakan konsep democration in forcing (demokrasi dalam tekanan). Disinilah dicoba mengembangkan partisipasi mereka dan penyadaran akan kebutuhan mereka.
Penyadaran dan intervensi untuk pengetahuan politik yang lain dilakukan melalui technical assistant. Serangkaian lokalatih untuk masyarakat desa diadakan dengan kurikulum yang disusun berdasar analisa kebutuhan pembinaan dan lokalatih. Lokalatih diberikan untuk pemdes, BPD, termasuk masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil, dengan harapan mereka dapat mensinergikan harapan dan tujuan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Terakhir agar masyarakat semakin sadar akan kebutuhan mereka. Bagaimana dampaknya terhadap pengelolaan good governance di tingkat desa.
Kedua, kesadaran kritis yang muncul diharapkan membuat masyarakat mampu membuat argumentasi terhadap berbagai macam eksploitasi sekaligus membuat pemutusan terhadap hal tersebut. Pemutusan hubungan yang eksploitatif hanya dapat dilakukan jika ada pembaruan sosial. Artinya membiarkan pemikiran masyarakat muncul, karena ini akan dapat mendorong produktivitas kerja mereka dan upaya reorganisasi.
Upaya ketiga yang dilakukan IRE dalam pemberdayaan masyarakat adalah dengan intervensi logis tentang penegaskan kembali rasa kebersamaan (solidaritas) dalam masyarakat bahwa sebenarnya kemiskinan bukanlah takdir melainkan suatu dampak sosial politik yang sangat kompleks dan multidimensional. Pandangan tentang kemiskinan sedikit banyak dipengaruhi oleh konstruksi sosial, bagaimana sebuah sistem memandang suatu kondisi kesejahteraan dan menentukan standar kemakmuran. Bukan sekedar persoalan kesejahteraan sosial (social well being), kemiskinan berkaitan erat dengan faktor ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan keamanan. Pada tahap ini muncul apa yang dinamakan capacity building (peningkatan kapasitas masyarakat). Kapasitas disini meliputi munculnya ide-ide dari mereka tentang berbagai macam metode pembangunan yang akan mereka lakukan.
Keempat, pengalaman IRE menunjukkan perlu adanya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat desa. Kenapa ini diperlukan? Pertumbuhan desa yang sedemikian cepat tetap tidak bisa menafikan karakteristik sosiokultural masyarakat pedesaan NTT yang masih kental. Di kawasan rural hingga sub-urban, nilai-nilai sosiokultural masih diyakini secara kuat oleh masyarakatnya, yang kemudian dikenal sebagai modal sosial. Ritual-ritual tradisional, bahkan cenderung mistis, masih dijalani, minimal oleh komunitas tertentu dalam masyarakat. Ini yang harus snagat kita hargai dari masyarakat NTT secara keseluruhan. Bagi mereka adat adalah Tuhan dan Tuhan adalah Hidup.
Need Assesment di Nusa Tenggara Timor tepatnya dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Amarasi. Kegiatan ini dilaksanakan tanggal 6 Juni s/d. 15 Juni 2002 oleh 2 orang sraf IRE yakni Mefi Hermawati dan Poppy S. Winanti.
A.G Hadzamawarwit Netti dan Hans Itta, Kupang dari masa ke masa, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II KUPANG, Sulamu, 1997.
Boxer, C.R. Jan KOMPENI, Perang dan Damai 160-1979; Alih bahasa: Bakri Siregar, Sinar Harapan Jakarta, 1985. Fidalgos in The Far East 550-770, The Hague Martinus Nijhof, 948
Fox, James J. Harvest Of the Palm, Havard University Press, Cambridge, Massachusetyts and London, England, l977:6l
Parera, A. D. M. Portugis dan Belanda di Kota Kupang, Naskah l969
Doko, I.H. NUsa Tenggara Timur Dalam Kancah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Masa Baru Bandung, l983.
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, edisi kedua, Yogyakarta; Kanisius, 1992: 78-79
Fernandez SVD, Ozias Stephanus Dr. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, Ledalero,1990:14.
Mboik, S. Larry, Laob Sebagai Cermin Kondisi Permasalahan Agraria Nusa Tenggara Timur, artikel.
Stephanus Ozias, Opcit; 40
NUSA TENGGARA TIMUR
A. PENDAHULUAN:
Timor dalam Perspektif Sejarah
Nusa Tenggara Timor berada di Timur gugusan zamrud khatulistiwa kepulauan Indonesia. Berdirinya Timor berawal sebelum kedatangan Portugis. Konon di Kupang ada sebuah kapal bangsa asing yang telah mengunjungi Kupang. Awal kapal asing ini turun ke darat untuk berkenalan dengan penguasa Pribumi, yang tinggal tidak jauh dari muara sungai. Nahkoda dan awak kapal asing ini disambut dengan ramah oleh penguasa Pribumi.
Sambutan ramah yang diberikan membuat rombongan tersebut terkesan. Mereka kemudian menghadiahkan sebuah kendi yang berukir indah. Nahkoda kapal berkata kepada penduduk pribumi sambil berkata “Cupa”. Penguasa pribumi menerima hadiah yang diterima tersebut dengan gembira sambil menirukan ucapan nahkoda kapal asing tersebut. Walhasil mulai dari waktu itulah sang penguasa pribumi tanah Helong yang menerima dan menyimpan Cupa menamainya Nai Cupa, dari ucapan ini kemudian berubah menjadi Kopa, Kopan, kemudian Kupang.
Sebenarnya masih ada beberapa versi yang menceritakan awal mula bersirinya pulau ini, namun cerita ini dianggap paling mendekati kebenaran karena beberapa alasan. Pertama, kata Kopa atau Kopan tidak pernah ada dalam bahasa Helong maupun bahasa Dawan dimana para penguasa negeri berada waktu itu. Nai Kupan ( merupakan ucapan Dawan). Sedangkan Lai Kopan merupakan ucapan orang Helong.
Berdasarkan penelitian bahasa, ternyata Cupa berasal dari bahasa Spanyol dan Inggris Kuno, Cupa atau Cuppe, yang artinya kendi berukir indah yang biasanya memang dijadikan sebagai cindera mata. Sehingga kemungkinan besar Nahkoda dan rombongan tersebut berasal dari Spanyol. Namun perlu menjadi catatan bahwa pada masa penguasaan Portugis maupun Belanda, Kupan ditulis dan diucapkan dalam lima versi yaitu Cupao, Coupan, Cupam, Kopan, dan Koepang.
Dari beberapa catatan sejarah menuliskan bahwa pulau Timor sudah dikenal sejak abad ketujuh, hal ini disebabkan karena kayu cendananya yang berkualitas baik. Dikisahkan, bahwa waktu itu banyak sekali pedagang dari Malaka, Gujarat, Jawa dan Makasar, serta pedagang dari negri Cina telah melakukan kontak dagang secara langsung dengan raja-raja Timor, yang mengawasi penebangan kayu cendana di daerah pedalaman.
Selanjutnya dokumen Cina tahun l5 yang ditulis oleh Chau Ju Kua, menuliskan bahwa pulau Timor biasa disebut dengan nama Tiwu sangat kaya dengan kayu cendana. Pada waktu kekuasaan kerajaan Hindu-Jawa di Kediri telah mampu menjangkau Raja-raja Timor dan membayar upeti mereka dengan kayu cendana kepada raja di Kediri. Begitu juga dalam buku Negarakertagama, tahun l365 mencatat bahwa Timor yang terkenal dengan hasil cendananya termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit.
Dokumen Cina yang lain, ditulis oleh Hsing-cha Shenglan, menyebutkan bahwa di Kih-ri Timun (yakni pulau Timor) waktu itu terdapat dua belas tempat penampungan kayu cendana, disebut dengan twelve ports ormercantile establisment, each under a chief (dua belas pelabuhan/kelompok kegiatan perdagangan, yang masing-masing dibawah pengawasan seorang pemimpin). Adapun duabelas tempat tersebut antara lain adalah: Kupang, Naikliu, Oekusi, Atapupu, Betun, Boking, Kolbano, Bitan, Elo Abi, Bijeli, Oepoli, dan Nefokoko. Dari ke tempat inilah pedagang Cina dan Jawa mengangkut kayu cendana ke Kediri, Sumatra (Sriwijaya), jazirah Melayu (Malaka), dan Asia lainnya. Sejak itu Timor dikenal dengan nama ‘Timor Pulau Cendana’. Sistem perdagangan yang digunakan-pun masih menggunakan sistem barter, dengan barang pengganti seperti tembikar, manik, Sutera, barang-barang atau peralatan dari besi yakni sebangsa kapak, parang, pisau dan sebagainya.
Pada tahun l5l0 Portugis berhasil merebut Goa di pantai Barat India Tengah, dan pada tahun l5ll Malaka menjadi pusat perdagangan Asia Tenggara berhasil direbut pula. Untuk misi perdagangan dan agama, maka Portugis mulai melakukan ekspansi ke arah Timur, yakni Maluku yang termasyur karena rempah-rempahnya, dan Solor (Flores) yang termasyur dengan kayu Cendananya. Tahun l5ll armada Ferdinand Magellan (dua kapal) singgah di Alor dan Timor (Kupang). Dalam penyebrangan ke selat Pukuafu, kedua kapal ini tertimpa badai, salah satu kapal karam dan hancur. Salah satu jangkar raksasa kapal ini hingga kini masih ada di pantai Rote. Satu lainnya berhasil lolos dari amukan ombak melanjutkan perjalanan ke Sabu, kemudian ke Tanjung Harapan dan kembali ke Spanyol. Karena lolos dari amukan gelombang di Pantai Rote itu, maka kapal tersebut dikenal dengan nama kapal ‘Victory’.
Pada waktu VOC dibubarkan pada th l799, segala hak dan kewajiban Indonesia diambil alih oleh pemerintah Belanda. Peralihan ini tidak membawa perubahan apapun , karena pada waktu itu Balanda menghadapi perang yang dilancarkan oleh negara tetangga. Belanda waktu itu masih dikuasai oleh pemerintah boneka dari kekaisaran Perancis dibawah Napoleon. Keadaan ini dimanfaatkan Inggris untuk memperluas jajahannya dengan merebut jajahan Belanda.
Armada Inggrispun mengganggu semua daerah kekuasaan Belanda di Indonesia, sehingga pada tahun l799 hampir seluruh wilayah Indonesia (kecuali Jawa, Palembang, Banjarmasin dan Timor) dalam kekuasaan Inggris. Dua kapal Inggris memasuki pelabuhan Kupang pada l0 Juni l797, namun berhasil dipukul mundur oleh Greving yang mengarahkan pada mardijkers. Kira-kira tahun 1800, Komisaris Fiskal bernama Doser diutus dari Makasar ke Kupang untuk menyelidiki keadaan keuangan VOC. Akan tetapi ketika Doser sampai di Kupang ia segera diperintahkan untuk kembali dan tugasnya diambil alih oleh pejabat lain yang bernama Lofsteth. Namun tahun tak lama Lofsteth meninggal. Posisi ini kemudian digantikan oleh Hazart, seorang Belanda yang lahir di Kupang tahun 1773. Dibawah kepemimpinannya Belanda berhasil membatasi wilayah gerak Portugis sampai awal abad XIX. Penguasaan ini akhirnya berdampak terhadap kehidupan agama dan kultural di Timor. Kupang dan sekitarnya (Pulau Timor bagian barat) lebih banyak memeluk agama Kristen dengan bahasa dan dialek yang sangat kental dengan pengaruh bahasa Belanda. Contoh kata ‘tidak’ dalam bahasa Kupang adalah ‘sonde’ dari kata ‘sonder’ dalam bahasa Belanda. Semakin ke arah Timor menuju Attambua (Perbatasan Timor leste) mayoritas penduduk memeluk agama Katholik dengan pengaruh bahasa dari Portugis. Namun di daerah pesisir, dimana dahulu banyak bermukim pedagang Islam dari Gujarat, Pakistan dan sekitarnya masih banyak memeluk agama Islam.
Islam pesisir ini memiliki basis religio politik santri yang masih melekat kuat dalam politik aliran, mereka kebanyakan terdominasi dalam faham ahlu sunnah wal jamaah yang bersumber dari aliran Nahdatul Ulama (NU). Pemahaman mereka terhadap sumber-sumber simbolik yang berakar dari NU itu menimbulkan pluralitas kaum di kalangan Nahdliyin. Karena ternyata tak seluruhnya intensif menggumuli gerakan sufisme. Praxis serta pandangan yang mereka pahami tentang Islam memang masih belum begitu luas. Dalam kasus ini trikotomi Geertz yang membuat trikotomi Islam menjadi santri bagi mereka yang taat beragama, varian abangan dengan animisme dan varian priyayi yang dianggap kental dengan Hinduismenya yang nilainya sebagai penciri organisasi yang kurang taat beragama tidak berlaku. Namun Islam masih tetap bisa berekspresi karena tingkat toleransi antara masyarakat yang sangat tinggi.
B. PROFIL DAERAH NUSA TENGGARA TIMOR
Secara geografis, Nusa Tenggara Timor merupakan propinsi kepulauan. Ada 566 pulau besar dan kecil serta ratusan etnis yang mempunyai bahasa, dialek serta ritual sendiri-sendiri. Beberapa pulau besar antara lain Flores, Sumba dan Timor. Dan pulau-pulau kecil seperti Alor, Pantan, Lomben, Sabu, Rote, Sawu dan lain-lain. Pulau-pulau ini pada masa pemerintahan Belanda merupakan bagian kepulauan Sunda Kecil “Klein Soendaelanden” bersama dengan pulau Bali, Lombok dan Sumbawa.
Tahun l950 kepulauan Sunda Kecil diangkat menjadi propinsi oleh Peraturan Pemerintah RI N0 21, tahun 1950. Kemudian pada tahun 1954 nama Sunda Kecil diganti dengan nama Propinsi Nusa Tenggara berdasarkan Undang-undang Darurat N0 9 tahun 1954. Berikutnya tahun 1958 Propinsi Nusa Tenggara dijadikan tiga daerah tingkat I, yaitu Daerah Tingkat I Bali, Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat dan Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur, yang selanjutnya disebut NTT, berdasarkan Undang-Undang N0 64 tahun 1958. Dan ditetapkan dalam lembaran negara N0 115.
NTT mempunyai 12 Kabupaten Daerah Tingkat II, meliputi Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Manggarai, Ngadha, Endhe, Sikka, Flores Timur, Alor, Sumba Barat, dan Sumba Timur. NTT sering juga disebut dengan Flobamor yang sebenarnya merupakan kependekan dari Flores, Sumba dan Timor. Dengan daerah seluas 47.695 Km persegi panjang, Timor terletak antara 80º3 dan diantara bujur timur llºl LS serta l8º33 dan 125º.
Dengan kondisi geografis seperti diatas, manusia NTT banyak hidup dari bercocok tanam dengan berkebun, berladang maupun bertani. Tentunya disamping hasil laut yang memberi penghidupan lebih dari seperlima penduduknya melalui penangkapan ikan serta budidaya tanaman laut, terutama di perairan Rote, Alor dan Timor. Sistim perladangan dapat dijumpai di Sumba dan Timor. Sistim ini memang sangat bergantung pada konsentrasi curah hujan, sebab itulah mereka memilih hidup nomaden atau berpindah-pindah, karena kehidupan mereka sangat bergantung dengan kesuburan tanah. Dalam bahasa Timor dikenal dengan Rene feut dan Rene tetas, atau nomaden dengan maksud mengembalikan kesuburan tanah. Perpindahan biasanya dimulai dengan pembakaran. Pararel dengan itu terdapat sistim peternakan. Kambing domba, kerbau, kambing termasuk babi merupakan ciri ekonomi peternakan di NTT.
Manusia NTT mempunyai ciri fisik dengan tanda Negrito-Melanesia. Terlebih pada bagian timur pulau Flores dan bagian tengah serta Timor-Timur. Namun untuk daerah Flobamor mereka lebih banyak memperlihatkan tipe Melayu, Polinesia dan Veda Austroloid.
Dalam pengorganisasian sosial masyarakat NTT terpilah-pilah berdasarkan adat yang berbeda-beda pula. Adat bukan hanya digunakan sebagai ritual kepercayaan, namun juga digunakan dalam pola-pola kemasyarakatan termasuk untuk perlindungan dan konservasi alamnya. Misalnya Talas dan Banu di Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS). Talas adalah larangan pengambilan hasil hutan dan satwa liar dalam hutan serta air, yang ditetapkan lewat sumpah adat dan penyembelihan hewan besar dimana kepala hewan tersebut akan digantung di daerah larangan. Bagi pelanggar, akan mendapat hukuman dengan membayar kerugian sebesar biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut. Sedangkan Banu diberlakukan untuk tanaman milik perorangan dengan aturan dan sanksi yang sama.
Rote dikenal dengan adanya Papadak. Rote dengan 18 wilayah persekutuan adatnya masing-masing mempunyai organisasi perlindungan dan pelestraian alam yang disebut Lala. Lala terdiri dari orang-orang yang berasal dari klan (suku) berbeda dalam satu nusak (Wilayah persekutuan adat) yang melindungi dan melestarikan sumber-sumber air dengan hutan buatan yang disebut mamar. Dari pembuatan mamar hingga pemanfaatan dan pembagian hasil diatur dengan aturan adat yang disebut Papadak, ditetapkan oleh lala dan disahkan dalam rapat adat yang disebut Hoholok.
Di Sumba Timur dikenal aturan adat yang dan sebagainya Weri, yaitu aturan adat tentang perlindungan ikan tertentu di muara, pengambilan ikan harus dilakukan setahun sekali yakni bulan Oktober dan hanya dalam waktu sehari. Sedangkan aturan untuk menjaga sumber mata air agar bebas dari penggunaan untuk pertanian serta pemukiman yang berlebihan disebut Mata wai marapu.
Secara demografis, dapat dikatakan struktur sosial masyarakat NTT adalah masyarakat majemuk yang segregatif. Dalam struktur seperti ini sangat terbuka untuk terjadi konflik horizontal berdasarkan katagori askritif dalam masyarakat lokal. Kerentanan struktur sosial berkarakter segregatif ini tergambar jelas dari perjalanan sejarah NTT yang selalu diwarnai dengan pertengkaran raja-raja kecil yang berbasis etnik maupun subetnik. Perebutan biasanya berkisar pada penguasaan atas tanah termasuk hutan dan gunung. Harmoni biasanya hanya bisa tercapai ketika muncul kekuasaan besar yang hegemonik dan dominatif. Dalam sejarah NTT itu diambil oleh Belanda dan Pemerintahan Republik Indonesia pasca kolonial.
C. PEMETAAN WILAYAH NEED ASSESSMENT
Dalam NA yang dilakukan selama 10 hari, observasi dilakukan di beberapa tempat antara lain SoE, di Wilayah Kabupaten Timur Tengan Selatan, dengan alasan antara lain, Pertama, SoE masih mempunyai struktur adat yang cukup kuat, begitu juga adanya upacara ritual yang masih dianggap sakral. Kedua, SoE secara geografis terletak di tengah pulau Timor. Tidak terlalu jauh dari Kupang sebagai pusat Kota serta akses transportasi yang tersedia cukup memadai (perjalanan kurang lebih 3 jam dengan bis jurusan Attambua). Ketiga, SoE mempunyai begitu banyak sumberdaya alam yang sudah dilirik beberapa investor, bahkan sampai sekarang masih merupakan dilema. Antara lain Kasus Marmer, Cendana, dan hilangnya buah apel dari struktur pertanian TTS. Keempat, disini masi banyak orang-orang yang dahuilu berkedudukan sebagai pemangku adat, sehingga dapat memberikan informasi yang valid terhadap penelitian ini. Kelima, TTS dan SoE khususnya mempunyai begitu banyak etnis dengan beraneka macam ritualnya yang sampai sekarang masih berlaku, begitu juga dengan hukum adatnya masih ditaati oleh sebagian besar warganya. Keenam,masih banyak peninggalan-peninggalan sejarah yang bisa dijadikan titik awal pemberdayaan masyarakat adat, baik pola berkomunitas maupun institusi-institusi adat yang masih sangat dihormati masyarakatnya.
Begitu juga dengan Amarazi, beberapa alasan untuk memilih daerah ini sebagai salah satu tempat untuk dikungjungi adalah, Pertama, di Amarazi, tepatnya di Baung adalah merupakan pusat kerajaan Amarazi. Kedua, masih dapat diketahui bekas-bekas peninggalan kerajaan, Fetor maupun Temukung. Antara lain Sonaf (Rumah Raja), lopo ( tempat musyawarah). Ketiga, banyak struktur adat amarasi yang masih dipakai dalam struktur pemerintahan sekarang. Keempat, masih ada beberapa Fetor yang masih hidup. Antara lain J.B Abineno. Fetor turunan ke di Oekebiti, ibukota kecamatan Amarazi. Kelima, Amarazi terletak tidak jauh dari ibukota propinsi Kupang, masyarakatnya memang sudah mulai plural, namun disatu sisi kekuasaan pemangku adat masih memegang peranan penting dalam struktur dan status sosial masyarakat Amarazi. Keenam, di Buraeng, salah satu Kefetoran di Amarazi ada konflik tentang pemasangan ‘radar’ oleh pemerintah.
D. BASIS KOMUNITAS
Masyarakat di kepulauan Timor, mempunyai basis komunitas yang berbeda-beda. Orang TTS akan mempunyai basis komunitas yang berbeda dengan orang Kupang, Belu ataupun Rote. Penduduk Rote dan Amarazi melandaskan basis komunitas mereka berdasarkan tempat tumbuh pohon tuak. Ini disebabkan karena basis ekonomi mereka tergantung pada komoditi dari hasil menyadap nira lontar.
Dengan komunitas ini mereka membentuk sutu sistem kekerabatan melalui perkawinan, kebutuhan untuk berkolaborasi karena kepentingan ekonomi (pemasaran hasil produksi) maupun untuk kepentingan sosiologis kultural. Orang Timor awam dalam perantauan akan menyebut mereka ‘orang darat’. Secara fisik mereka lebih banyak didominasi oleh keturunan melayu dan Jawa. Orang-orang ini akhirnya menguasai struktur ekonomi NTT secara keseluruhan dibanding dengan orang meto. Karena mereka jelas mempunyai akses transportasi dan informasi yang luas dan kesempatan yang lebih besar.
Sedangkan TTS, dan sekitarnya mempunyai basis komunitas dengan pengelolaan ladang, dan pemilikan pohon cendana. Tentunya ini didasari dengan mata pencaharian mereka adalah peternak dan sebagian petani. Akses ekonomi mereka lebih didominasi oleh hasil perkebunan terutama jeruk dan pisang, serta hasil ternak. Orang TTS biasa disebut dengan orang ‘Meto’. Komunitas yang ada didasarkan atas marga nama kerajaan mereka, (Amanatun, Amanuban, dan Mollo). Dari cara berpakaian maupun logat dalam berbicara orang akan dapat membedakan secara pasti apakah seseorang berasal dari Amanatun, Amanuban atau Mollo.
Basis komunitas ini diperekuat dengan faktor sosio-kultural masyarakat setempat. Ikatan-ikatan lebih lanjut yang melandasi suatu komunitas disamping sistim kekerabatan ada beberapa hal antara lain, pertama, Ikatan adat. Keterikatan yang sama dalam adat dan tuntutan adat membuat semua warga masyarakat berfikir secara kolektif dan saling bersosialisasi. Kewajiban mengambil bagian dalam upacara adat serta kegiatan bersama menjauhkan masyarakat dari sikap apatis.
Kedua, keterikatan karena agama. Upacara ritual keagamaan memaksa orang untuk melakukan komunikasi antara masyarakat termasuk masyarakat dengan roh nenek moyangnya, roh pendiri suku dan ilahi. Mereka sangat menekankan adanya keharmonisan masyarakat yang dipraktekkan dalam penyembahan dan ritual adat untuk kepentingan permohonan dan ucapan syukur dan pemulihan. Tujuannya adalah melestarikan hubungan sekaligus mengharapkan agar orang mati dapat dikembalikan dalam persekutuan roh nenek moyang.
Ketiga, suatu upaya pencegahan konflik, cemburu serta kebencian antar anggota masyarakat. Pola ini dilakukan dengan cara kolektif mulai dari cara berpakaian, kesenian, pesta maupun ibadah. Kesamaan dan keseragaman ini diatur secara jelas oleh adat dan diwariskan temurun. Adat ini tidak boleh diselewengkan, meskipun dalam perjalanannya semangat kolektivitas ini terancam oleh modernisasi dan kemajuan zaman.
E. STRUKTUR PEMERINTAHAN
Sudah bukan menjadi rahasia umum, penyeragaman sistim pemerintahan desa dengan Undang-Undang No 5 Tahun l974 berdampak negatif terhadap pola kekuasaan yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat sendiri. Studi mengenai hubungan ekonomi politik negara dan masyarakat desa sampai sekarangpun masih dihadapkan pada pemikiran yang menganggap bahwa politik dan struktur ekonomi pedesaan kurang memiliki daya tarik. Namun belakangan isu ini menjadi booming di kalangan ilmu pemerintahan dan politisi seiring dengan kehadiran Undang-Undang No tahun 1999.
Pasalnya dalam Undang-Undang ini menjanjikan adanya pengembalian hak-hak masyarakat adat termasuk pola maupun bentuk pemerintahan. Dan undang-undang ini juga menjamin adanya perbedaan adat-istiadat termasuk dalam struktur pemerintahan. Terutama pada pasal 15 tentang pemerintahan desa. Namun kurun waktu yang sangat lama menyebabkan rasa pesimis masyarakat dalam undang-undang ini, efek birokratisasi yang dibangun pemerintah terdahulu sudah terpatri.
E.1. Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)
TTS merupakan salah satu dari 4 kabupaten propinsi NTT yang dikenal sebagai penghasil Cendana terbesar, daerah ini mempunyai luas 4333,6 Km² dengan kepadatan penduduk 74/ Km². Jumlah penduduk wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Struktur Pemeritahannya dibagai dalam 162 desa, 4 kelurahan, 8 kecamatan dan 6 perwakilan kecamatan. (sebelum perubahan). Cuaca umum wilayah TTS adalah 4 bulan basah (Desember-April), dan 8 bulan kering (April-November). Rata-rata curah hujan 1,716 mm/tahun. Suhu udara pada musim dingin (juli-Agustus) sekitar 18-21ºC.
Sekitar 2500 ha tanah yang ada di NTT digunakan untuk persawahan. Sedangkan untuk peternakan atau penggembalaan mencapai posisi paling banyak yaitu seluas 44.908 ha. Untuk lamtoro seluas 41.374 ha, 180.000 ha lainnya adalah tanah kritis. Daerah aliran sungai (DAS) yang terkenal di TTS antaranya adalah dataran Mina, Bnain, Muke, Bone, dan Tumutu. Sedangkan dataran lainnya yang luas dan potensial adalah Bena, Baus, Tatukopa, Konbaki dan Besana.
Kedudukan kabupaten TTS berbatasan dengan, sebelah utara adalah Kabupaten TTU (Timur Tengan Utara) dan Ambenu (Timor Leste). Sebelah selatan dengan lautan Indonesia, sebelah timur dengan Kabupaten Belu dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang. Nama Kabupaten Timor Tengan Selatan merupakan terjemahan dari pemberian nama oleh Belanda ‘Zuid Midden Timor’ (ZMT).
Keberadaan orang-orang dan kebudayaan di wilayah TTS tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan Dawan, karena mereka adalah penduduk asli TTS. Dalam masyarakat Dawan umumnya pemukiman dimulai dari pola keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang disebut UME. UME yang ada akan membentuk klen kecil yang disebut Pulunes, baru terbentuk kemudian klen besar atau biasa disebut Kanaf. Dalam struktur sosial TTS, masyarakat golongan Usif merupakan golongan bangsawan yang sangat dihormati. Mereka juga berkedudukan sebagai kepala suku. Dibawah Usif ada Amaf, Amaf adalaf sekelompok masyarakat yang terdiri dari klen kecil. Sejajar dengan Amaf ada Meo yang merupakan barisan hulubalang yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dari segala ancaman yang datang dari dalam maupun luar daerah. Mereka juga berjuang mempertahankan marga dan kampung halaman dari segala serangan musuh.
E.1.1. Struktur Adat dan Pemerintahan TTS
a. Struktur Masyarakat dan Self Governing Masa (Pra Kolonial-1500)
Struktur pemerintahan di TTS mengalami akulturasi (perkawinan) dengan budaya lain setelah abad 15. Sebelum itu, Timor sendiri sudah mempunyai adat-istiadat murni. Terbukanya Timor dengan dunia luar dimulai dengan perdagangan kayu cendana (Santalum album Linn). Leluhur mereka menyebut tanah Timor dengan sebutan ‘Hau Fo Meni’ atau disingkat dengan Haumeni’ yang artinya negeri berbau harum. Para pembelinya kayu Cendana kebanyakan berasal dari Bali, Jawa dan Sumatra. Demikian juga pada masa Timor dalam penguasaan Raja Majapahit, upeti yang diminta adalah berupa kayu cendana.
Pengaruh budaya Jawa dapat diketahui pada struktur pemerintahan adat. Misalnya dalam beberapa sebutan untuk tetua adat seperti istilah Usif, berasal dari sebutan bahasa Jawa yang artinya Gusti (tuan) yang telah mengalami perubahan fonetik maupun dialek bahasa. Kemudian istilah Temuku dari kata Tumenggung, dan sebutan Lopo yang berasal dari istilah Pelopor (Lopor). Namun demikian istilah ini tidak sampai menyusup ke pedalaman, dalam arti tidak sampai merombak struktur pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat adat.
Dalam sejarah asal-usul penduduk di TTS ini dikompilasikan oleh hadirnya orang Negro Afrika dan India (yang waktu itu bertugas sebagai tentara Portugal). Kemudian masuknya orang-orang Cina serta beberapa orang Indonesia bagian Barat. Masuknya penduduk Indonesia di pojok tenggara Indonesia ini kemudian berbaur dengan kehadiran suku-suku sebelumnya. Percampuran ini menurut beberapa sumber dimulai dari Camplong. Daerah yang tidak jauh letaknya dari ibu kota pripinsi, Kupang.
Bagaimanapun kompleksnya penduduk yang mewarnai negeri Timor ini, namun secara garis besar penduduk ini dapat di bagi dalam dua kelompok besar. Pertama, Orang Belu Timur, Bastian (l885) melihat bahwa orang-orang ini menunjukkan persamaan dengan penduduk barat dari kepulauan Melayu. Dalam perjalanan selanjutnya orang Belu menyebut dirinya ‘Dawan’. Walaupun kata ini tidak pernah digunakan oleh mereka sendiri. Dawan sebenarnya adalah nama orang, yakni leluhur dari marga Sonba’i yang pertama.
Kedua, adalah orang Timor khusus pegunungan yang ada di bagian tengah dan darat dari kepulauan Timor. Catatan terakhir tentang tipe penduduk ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang ada di Irian. Lebih lanjut orang Timor khusus menyebut dirinya sebagai ‘Atoin meto’, orang Meto menyebut orang Belu dengan sebutan Kaes Belus. Koetjoroningrat menuliskan bahwa ciri-ciri tubuh orang Atoin lebih banyak dipengaruhi unsur Melanesia, jika dibandingkan dengan penduduk Timor yang lain, kebanyakan bertubuh pendek, ukuran kepala brachcyeephal, berkulit cokelat kehitam-hitaman dan berambut keriting.
Sebutan ‘Atoin’ yang sebenarnya adalah untuk orang Meto, dan menurut orang Meto sebutan Atoin sangat kasar sekali dan tidak tepat artinya. Istilah Atoin sebenarnya berarti manusia. Sehingga sebutan Atoin Meto artinya adalah manusia Timor yang berdiam di Pegunungan. Karena itu orang Kupang menyebut mereka datang dari pedalaman atau disebut dengan ‘orang gunung’
Pola mata pencaharian yang selalu berpindah dalam bahasa Meto disebut ‘An fun ma an non, na bonet ma na bonat, nah mate ma niun mate’ artinya mengepung, mengelilingi, makan mentah dan minum mentah, didapat dari beberapa keterangan para Kan-Uf (marga) Bay di Fatumnasi, salah satu Kecamatan di Mollo Utara. Ungkapan diatas mempunyai pengertian bahwa mereka adalah kelompok masyarakat tertua di Mollo. Sebagain keturunan Bay yang lain berpindah dan bermukim di wilayah Lelogama, Kabupaten Kupang yang juga disebut dengan Bay-Uf.
Pola hidup yang berpindah, membuat mereka terbiasa hidup dalam gua-gua sekitar Mollo, Matis dan Babmi. Warisan ini pada akhirnya nampak dalam bentuk rumah adat mereka. Bentuknya bulat dengan rumbai sampai ke bawah. Karena itu ia dinamai ‘rumah bulat’ (umebubu/umekbubu). Rumah ini hanya mempunyai satu pintu dan rendah, suasana di dalamnya gelap, mirip dengan gua-gua yang biasanya mereka tempati.
Selain pola hidup nomaden, masyarakat TTS juga akrab dengan pola hidup di atas pohon, dihutan-hutan. Mereka yang menggunakan pola ini biasanya adalah mereka yang biasa berada di wilayah yang beriklim panas. Pilihan ini disebabkan karena kondisi lingkungan dimana banyak nyamuk yang sering menyerang. Pondok tempat bernaungpun dibuat berupa para-para di atas pepohonan yang tinggi dengan menggunakan daun Gawang atau daun Enau.
Warisan pola ini adalah bentuk rumah yang disebut ‘Neob’. Namun dalam perkembangannya kedatangan suku bangsa Barat membuat modifikasi baru dimana rumah-rumah yang berbentuk Neob dirubah menjadi ‘Lopo’. Istilah ini sebenarnya datang dari bahasa Melayu atau bahasa Jawa ‘Pendopo’ , namun menurut lafal orang Timor pengertian ini berubah menjadi ‘Panlopo’ yang kemudian disingkat dengan ‘Lopo’. Lopo bukan saja difungsikan dalam penerimaan tamu. Dalam perkembangan selanjutnya Lopo digunakan untuk acara pernikahan, dan berdiskusi. Disinilah awalnya Demokratisasi di tingkat masyarakat adat Timor terjadi. Dalam Lopo ini para laki-laki dan tetua adat melakukan diskusi untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk menentukan aturan adat dan kesepakatan lain berkaitan dengan perselisihan antar suku maupun perebutan kekuasaan yang sangat sering terjadi waktu itu. Sayang Lopo hanya diperuntukkan untuk kaum laki-laki. Selain itu Lopo juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan senjata dan peralatan kesenian (gamelan).
Selanjutnya proses Lopo ini mengalami sedikit perubahan, disamping Lopo ada juga dikenal juga rumah belakang yang berfungsi sebagai gudang makanan, serta tempat menanak nasi. Jika Lopo merupakan metafora kaum laki-laki maka ‘Rumah Bulat’ diperuntukkan untuk wanita. Rumah Bulat wajib diberi dinding sedangkan Lopo tidak .
Kehidupan struktur masyarakat di TTS tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain pada umumnya. Mereka mengenal juga tentang rule of law atau norma-norma sosial yang mereka sepakati secara bersama-sama. Dalam komunitas masyarakat ini telah terjadi juga proses kontak dengan kebudayaan lain (diffussion). Sebenarnya antar difusi dengan akulturasi terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa kedua proses tersebut memerlukan adanya kontak. Tanpa kontak tidak mungkin kedua proses tersebut berlangsung. Akan tetapi proses difusi berlangsung dalam keadaan di mana kontak tersebut tidak perlu ada secara langsung dan kontinu. Misalnya difusi dari penggunaan tembakau yang tersebar di seluruh dunia. Lain halnya dengan akulturasi yang memerlukan adanya hubungan yang dekat, langsung serta kontinu. (ada kesinambungan).
Proses difusi dapat menyebabkan lancarnya proses perubahan, karena difusi dapat memperkaya dan menambah unsur-unsur kebudayaan, yang seringkali memerlukan perubahan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan, atau bahkan penggantian lembaga-lembaga kemasyarakatan lama dengan yang baru.
Demikian juga dengan Timor, mereka mempunyai norma yang diciptakan dan ditaati bersama. Lazimnya mereka yang tertua di dalam kelompok disepakati anggota untuk menjadi pemimpin kelompok. Pemimpin ini nantinya oleh orang Meto disebut dengan “Amaf”. Para pemimpin ini dengan seluruh anggotanya secara ikhlas tunduk kepada pemimpin yang lebih tinggi yang disepakati dan memberi kepercayaan kpd pemimpin ini untuk mengatur wilayah, struktur sosial masyarakatnya serta kekayaan yang ada di wiliyahnya. Penyerahan seluruh kekuasaan ini disebut dengan ‘Pah-Tuaf’.
Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada dalam masyarakat, disertai dengan perkembangan jumlah penduduk yang terus melaju, maka tugas dan fungsi para pemimpin adat ini juga semakin banyak. Untuk itu kemudian diadakan pembagian tugas dan fungsi di antara para Amaf, mereka dibagi dalam beberapa bagian antara lain.Pertama Amaf yang berfungsi di dalam bidang penataan dan pembinaan masyarakat disebut ‘Am-Uf’’. Kedua, Amaf bertugas sebagai penata dan pembina masyarakat yang disebut ‘Meo’. Ketiga Ana -amnes’ atau ‘Ana atobe’, mereka adalah para Amaf yang ditugaskan untuk melakukan pembinaan lingkungan serta konservasi alam. Sedangkan Amaf yang bertugas mengurusi kesehatan adalah”Mname’ (untuk lelaki) dan A tusit (untuk perempuan).
Dengan semakin luasnya hubungan masyarakat yang terjalin, giliran berikutnya dibutuhkan para pemimpin yang dapat menangani tugas yang lebih luas lagi. Untuk kepentingan tersebut beberapa Pah-Tuaf bersepakat untuk memilih pemimpin tersebut. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin antara lain adalah harus mempu0nyai kemampuan lebih, cerdas, cakap, mempunyai pengaruh yang luas, bijaksana, dan berilmu. Karena sejauh ini orang berilmu sangat disegani dalam kehidupan orang Timor. Mereka akan sering disapa dengan Neno-anan, A heit, A Lalat, Man a prifat, A finit, A manut, A Tupas dan A amat. Oleh karena mereka dipandang sebagai anak dewata maka biasanya segala tutur kata mereka dianggap sebagai titah dan dipandang sebagai undang-undang yang hrs ditaati oleh masyarakat.
Kalau penguasa tertinggi (A Finit) mendapat sapaan Neno-anan maka untuk para Pah-Tuaf mendapat sapaan Pahe-Tuan, yang merupakan penguasa wilayah dan penguasa rakyat. A Finit hanya sebagai perlambang kekuasaan tertinggi, dan tidak dapat diganggu gugat. Pemilihan pemimpin untu A Finit maupun Pah-Tuaf dilakukan secara genealogis, ini mempunyai arti bahwa pemegang pucuk pimpinan bersifat turun-temurun, baik pada tingkat A Finit, Pah-Tuaf, Mamaf Meo, Ana Atobe maupun Ana’a-Mnes.
Satu hal yang penting untuk dicatat adalah hubungan anatara Paf-Tuaf dengan Amaf ditengahnya ada satu fungsionaris, yang dan sebagainya Mafefa, yaitu juru bicara adat. Fungsionaris ini memiliki kecakapan di dalam mengani masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan adat-istiadat. Bukan hanya itu fungsionaris ini juga berfungsi sebagai tempat penerangan atau informasi bagi masyarakat. Meo adalah angkatan perang yang bertugas untuk menjaga daerah dari segala danguan keamanan dan ketertiban. Meo akan selalu bekerjasama dengan Raja. Sedangkan Ana Atobe bertugas sebagai pendoa upacara adat untuk kemakmuran, serta menyiapkan segala upeti untuk Raja. To ama adalah masyarakat kebanyakan, mereka tentu sangat tunduk dan hormat kepada Raja.
b. Struktur Masyarakat dan Struktur Pemerintahan Zaman
Penjajahan (1500-1945)
Pemerintahan adat pada masa penjajahan ini banyak mengalami pergolakan, baik disebabkan oleh pengaruh internal yang datang dari tubuh kerajaan maupun pengaruh eksternal, yaitu pengaruh dari Portugis dan Belanda. Pengaruh penjajahan ini membuat kerajaan terbesar di TTS (Amanatun, Amanuban dan Mollo) mengalami pasang surut adat, struktur pemerintahan maupun sistem perkonomian mereka.
Pengaruh Internal:
1. Kerajaan Oenam
Kerajaan ini memiliki wilayah pemerintahan yang lebih luas dibandingkan dengan kerajaan lain. Wilayahnya meliputi Fatule’U, Mollo, Meomafo, Insana sampai di Biboki. Dinasti yang berkuasa adalah dinasti Sonba’i, yang merupakan turunan raja besar Wehali di Belu Selatan. Keluarga keturunan Sonba’i ini masih memegang “bahwa semua bahan makanan manusia datang dari tulang belulang puteri raja Sonbai (Raja Oenam), dari tulang-tulang ini kmemudian tumbuh berbagai macam bahan makanan bagi penduduk Timor. Mitos ini berkembang begitu rupa, sehingga rakyat percaya dan menerimanya.
Dengan mitos ini, setiap kali panen rakyat harus memasukkan hasil pendapatan mereka sebagaian kepada raja Oenam (Sonba’i) sebagai tanda terimakasih kepada putrinya. Mitos ini berkembang cukup lama dan bukan hanya di sdalam wilayah kerajaan Oenam. Namun akhirnya rakyat menyadari bahwa Sonba’i adalah manusia biasa dan bukan anak dewata (Neo-anan), atas dasar pemahaman ini timbulah pemberontakan kepada raja, disebabkan Sonba’i tetap menuntut pemasukan hasil hulu bersamaan dengan itu harus ada seorang laki-laki dipersiapkan untuk dibunuh oleh Sonba’i.
Pembangkangan terhadap Sonba’i dimulai dari Bijela, 3 permasuri Sonba’i kacau di tengah malam. Mereka berlari mencari perlindungan. Ketiganya disembunyikan oleh Lo Afos Mella di bukit Laob dan diawasi oleh Kalu Banobe dan Lia Bahan. Sedangkan permasuri ketiganya, Bi Manel Kosat menyingkir ke Oekusi (Ambenu), krn dia berasal dari sana. Peristiwa ini akhirnya menyebabkan Oenam terpecah, masing-masing Uis Pah memerintah sendiri wilayah kekuasaannya krn keturunan Sonba’i hampir punah.
Pemerintahan keturunan Sonba’i dipimpin oleh Boab, pada waktu ini Belanda sudah datang ke Timor untuk membeli kayu cendana. Sementara Portugis yang menduduki Oekusi memainkan politiknya dengan menyerang raja Boab Sonba’i sehingga mereka berpindah ke Kupang bersama dengan rakyatnya. Karena tidak mau tunduk terhadap pemerintahan Belanda akibatnya mereka ditangkap di Bijeli dan dibuang ke Betawi sampai meninggal di sana.
Pergolakan kedua tumbuh dalam kerajaan Oenam, dimana pusat pemerintahan waktu itu sudah berpindah ke Fatule’U. Adanya pembunuhan orang warga, Uis Kono dan Uis Oematan menyebabkan kedua keturunan ini mengangkat sumpah (Lasi Bata) bahwa mereka tidak akan mengabdi lagi ke Raja Oenam di Kauniki. Dan sumpah ini berlanjut sampai sekarang. Tidak ada satu orangpun keturunan Euis Oematan dari Mollo pergi ke Kauniki, menyapaun bahkan tidak.
Pergolakan ketiga timbul dalam tubuh Oenam karena selisih antara akak dengan adik, yakni antara Sobe Sonba’i dengan Tua Sonbai. Ini menyebabkan Tua Sonba’i menyingkir ke Kolo Pit’ai dan kemudian meninggal disana. Tua Sonbai akhirnya dijemput oleh Uis Kono dan Uis Oematan lalu ditempatkan di Fatumnutu, kemudian menurunkan Ofi Sonba’i, Ofi Sonbai menurunkan Kau Sonba’i, Dan Kau Sonba’i menurunkan lagi Tua Sonba’i, Raja kerajaan Mollo yang memegang kekuasaan Mollo dari tahun 1933-l958.
2. Kerajaan Amanuban (Banam)
Kerajaan ini terbentuk sekitar abad VI, disekitar NoEbunu. Pada massa pemerintahan Nubatonia, kerajaan Amanuban berpusat di Tunbesi. Pada waktu itu datanglah seorang dari wilayah Amanatun yang juga merupakan leluhur marga Nope di Niki-niki. Mereka berdiam di di Usapi-Kolhala. Karena dia juga berasal dari suku Rote maka mata pencahariannya adalah dari mencari hasil pohon tuak, untuk mendapatkan nira sebagai bahan makanan dan minuman. Dan setiap pagi Raja mendapatkan jatah dari Nope karena itu pada proses berikutnya Nope ikutserta dalam proses jual beli kayu cendana raja. Karena itu dia banyak berhubungan dengan Portugis.
Tidak seperti kebanyakan rakyat lainnya Nope tidak pernah mendapat tipu timbangan kayu cendana oleh Portugis karena selalu teliti. Tak heran akhirnya banyak orang meminta bantuannya. Masyarakat juga semakin setia kepada Nope, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi raja Nubatonis, Nope dianggap sebagai penghasut. Ia dijuluki dengan Ola-kmali artinya penghasut dan perusak mental rakyat. Setelah raja penasaran maka diadakan sayembara sebagai usaha untuk mengalahkan Nope, dengan jaminan tahtanya. Setelah beberapa kali pertandinagn Nope selalu memenangkan kesempatan itu. Raja menjadi sangat malu, akhirnya dia menyerahkan tahta kerajaannya kepada Nope sebagai penguasa atas kerajaan Amanuban. Sebagai tanda penyerahan kekuasaan.
Setelah menduduki tahta kerajaan Amanuban, Nope berusaha memperluas wilayah kekuasannya. Perluasan ini dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, perluasan wilayah dengan penaklukkan. Untuk itu para Meo dikerahkan untuk menghalau raja Tkesnai NoEbunu. Sedang putra Tkesnai bernama Lazaruz Toto do Bosen, melarikan diri dari perang di Amanatun menuju ke Haekto-Bonatun yang selanjutnya disebut Mollo. Penaklukkan ke arah Selatan juga dilakukan dengan penaklukkan kepada Raja Jabi-Uf. Penaklukkan ini dimulai dengan awal yang sangat sederhana, yaitu pencurian kerbau. Waktu itu masih sangat kental hukum adat dipegang, pelaku pencurian harus dikebiri. Pada peristiwa ini seorang warga Jabi mati terbunuh di lapangan Sonaf (Rumah Raja) Niki-Niki dan daerah kekuasaannya diambil oleh Nope.
Kedua, usaha penaklukkan dan perluasan kerajaan juga dilakukan dengan mengawinkan putra raja dengan putri-putri sekitar kerajaan. Karena menurut adat Timor, anak gadis yang dikawini pihak lain, akan membawa harta milik orang tuanya, baik yang bersifat barang bergerak maupun tidak bergerak sebagai sumber kehidupannnya dan keturunannya. Harta bawaan dari orang tua gadis disebut ike-suti (ike adalah alat pemintal dari benang, sedangkan suti mempunyai arti alasan untuk memintal benang).
Menurut raja peluang ini sangat bermanfaat dalam rangka perluasan wilayah kerajaan, dengan harapan mendapat tambahan wilayah sebagai ike-suti dari kerajaan sekitar, antara lain satu putranya dikawainkan dengan puteri raja Amanatun yang bernama Fnatun Bneaek, sebagai imbalan raja meminta wilayah dari Pisan sampai Fatu-ulan. Kemudian Puteri raja Oenam di Kauniki bernama Bi Sobe Sonba’i. Dalam perkawinan ini raja Amanuban meminta wilayah dari Neometo hingga NoEmollo (hulu sungai NoEmuke). Turunan dari perkawinan ini akhirnya menempati Basmuti. Perkawinan ketiga adalah dengan menikahkan putera Amanuban dengan bangsawan Oematan di Tobu bernama Kaunan Aononi. Perkawinan ini merupakan upaya untuk menetralisir keamanan di antara Mollo dan Amanuban yang sering terjadi konflik. Kemudian berkedudukan secara langsung sebagai pendamai maka perempuan-perampuan ini disebut sebagai Bi Kel Anoni (pendamai).
3.Kerajaan Amanatun
Kerajaan Amanatun (Onam) merupakan kerajaan yang terletak paling Selatan di wilayah TTS. Mulanya kerajaan ini hanya meliputi wialyah-wilayah kecil NoEbone dan NoEbanu. Yang dulunya disebut juga sebagai wilayah Anas, kerajaan kecil di bawah pengaruh kerajaan yang lebih besar Wehali di Belu selatan. Dinasti yang berkuasa dalam wilayah ini adalah Nesnay, namun dalam pengelolaan kerajaan dibantu oleh Nenometa dan Fay, karena itu kerajaan Anas kadang juga disebut sebagai kerajaan Nenometa. Kerajaan ini beralih ke wilayah TTS baru pada tahun 1910 dan menjadi distrik dari kerajaan Amanatun berdasarkan Government Besluit No. 2 Tahun 1913.
Pergolakan disini dimulai dengan kedatangan suku Tkesnai dengan Amafnya serta dalam jumlah yang sangat besar (ribuan), orang Amanatun menyebutnya sebagai To nifun. Suku ini mendarat di pantai Selatan dan menghuni wilayah sekitar TunAm sampai ke gunung Sunu. Paradaban dan peralatan yang dipakai oleh suku ini jauh lebih baik, karena itu terjadi perebutan wilayah dengan suku-suku sebelumnya (suku Toh dan Nenomatasus).
Karena merasa terdesak dua suku terdahulu bersepakat untuk meminta bantuan dari luar, yaitu ke Oenam. Permintaan ini langsung ditunjukkan kepada Usif Nai Mella di Rijoba. Atas permintaan ini Nai Mella dan pendukungnya akhirnya dapat mengalahkan Tkesnai dari wilayah Anas.
Pengaruh Eksternal
Pengaruh eksternal tentu datang dari bangsa asing yang mencoba mengais keuntungan di Timor. Kedatangan mereka berawal dari kayu cendana yang pamornya tersebar sampai ke Portugal, Spanyol, Inggris dan Belanda. Dalam salah satu tulisannnya Gresshof (1894-1900), menyatakan bahwa para tabib Arab sudah mengenal sifat-sifat minyak cendana sekitar tahun 1000 Masehi. Sedangkan Spanyol mengenal kurang lebih abad XVI.
Ramainya perdagangan kayu di Eropa membuat harga pohon cendana menjadi sangat mahal. Karena itu mereka langsung berlayar ke Timur melacak tulisan-tulisan Cina yang menyebutkan bahwa ‘Tiwu’ (Timor) sangat kaya dengan kayu dengan cendana, bahkan kayu ini bernilai sebagai upeti kepada raja. Kedatangan bangsa asing ini bukan hanya untuk tujuan ekonomi semata, mereka juga mempunyai kepentingan lain yaitu membawa misi gospel (penyebaran agama).
Kedatangan Portugis di Indonesia melewati pantai utara pulau Jawa yang sering dilalui pelaut muslim, karena saling berebut rempah-rempah maka terjadilah bentrokan antara mereka. Untuk menghindari bentrokan lebih lanjut maka Portugis menempuh jalur Maluku, sebagai daerah penghasil rempah. Tahun 1527 jalur pergeseran ini bergeser ke utara, yakni ke Malaka, Kalimantan utara, Sulawesi dan Hindia.
Melalui jalur inilah Portugis menemukan Timor, selain berdagang rempah-rempah dan membawanya ke Eropa mereka juga membawa misi untuk penyebaran agama Katolik melalui pelabuhan Oekusi (Lifau) dan Dili (Timor Leste). Setelah beberapa kurun waktu lamanya, sistem barter dalam perdagangan kayu cendana ditinggalkan dan diganti dengan uang perak sebagai alat penukar. Sebutan uang ringgit panasmat, atau yang lazim digunakan dikalangan masyarakat Amanabuban dan Amanatun berasal dari nama uang ringgit Spanyol Pasmat. Sedangkan Luikton yang lazim digunakan di wilayah Oenam berasal dari sebutan rix dollars . Begitu juga dengan sebutan lain seperti mahuma, merupakan uang suku zaman Portugis. Sedangkan sebutan seperti rupiah, ketip, kelip, gobang, dan remis merupakan pengaruh dari Melayu. Dalam struktur pemerintahanpun terjadi beberapa perubahan. Misalnya munculnya istilah Keiser, Feitor, Kolonel (Kolnel), taninti, Alferis, dan Kabo.
Dalam proses perdagangan kayu Cendana pernah terjadi pertikaian antara pemimpin pemerintahan dengan pedagan Portugis karena penipuan dalam penimbangan kayu cendana oleh para pedagang portugis. Karena pertikaian ini hubungan dagang dengan Portugis terputus selama lebih dari 50 tahun lamanya. Peluang pertikaian ini dijadikan suatu peluang bagi Belanda ke Timor.
Tahun 1613 Belanda pertamakali datang ke Pulau Timor dengan kompani dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang sudah dibentuk sejak tahun 1906. Dalam salah satu Anggaran dasar VOC ini disebutkan salah satu hak Belanda yang disebut sebagai Ootroi. Yaitu hak dari pemerintah Belanda untuk berdagang di wilayah Semenanjung Harapan dan Selat Magelhaens (Amerika Selatan). Dengan hak ini VOC diperkenankan merebut daerah, membangun benteng, mencetak uang, mengadili perkara serta menentukan antara perang dan damai.
Belanda memutuskan menetap di pulau Timor sejak tahun 1657 dengan merampas benteng milik Portugis yang ada di muara Mantasi. Sama seperti politiknya di Jawa, Belanda juga mengembangkan politik adu dombanya di Timor. Oleh karena Belanda mengetahui bahwa Raja Baob Sonba’i adalah raja yang paling menentang Belanda, maka Belanda mengatur siasat untuk menculiknya pada waktu malam hari, tindakan ini tentunya menimbulkan pemberontakan-pemberontakan di kalangan rakyat. Pemberontakan yang timbul antara lain Perang Penfui (l749), penfui artinya bendera asing (liar), dimaksudkan bahwa Pemerintahan Belanda dengan benderanya dipandang sebagai benda asing, bangsa asing. Kemudian pelawanan yang disebut Kotrak Paravicini (l756), disebut kotrak karena yang merencanakan adalah seorang warga Jerman bernama Paravicini yang bekerja pada VOC. Pemberontakan Kerajaan Oenam Sobe Sonba’i II dan beberapa pemberontakan yang lain.
Perjuangan Belanda dalam menaklukkan Kerajaan-kerajaan di Timor belum berhasil seluruhnya, karena itu pemerintahan Belanda menempuh cara politik yang lain untuk menaklukkannnya. Upaya ini dilakukan dengan ditandatanganinya Traktat oleh pemerintah Belanda dan Portugis, yang berlangsung di Lisabon, dan Netherland tahun l854. Isi dari perjanjian ini adalah bahwa wilayah enclave Oekusi, NoEmuti (T.T.U), Tamiru dan Ailala berada dalam kekuasaan Portugis, sedangkan sebelah barat berada dalam kekuasaan pemerintah Belanda.
Dengan pembagian wilayah ini maka Timor secara keselurahan lebih banyak dikuasai oleh Belanda Penguasaan ini tentunya membawa perubahan dalam pemerintahan. Pada masa ini Belanda menghadapi berbagai tantangan dari para raja–raja pribumi, salah satu upaya yang dilakukan adalah menetapkan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan desa, dan daerah yang setingkat dengan desa.
Salah seorang Belanda yang pertamakali mengadakan penelitian tentang desa dan pemerintahannya adalah Mr. Herman Warner Muntinghe, yang menjadi orang kepercayaan Governor Genderal Stamfort Raffles (1811-1816). Ia menyampaikan bebberapa penelitiannya kepada Raffles tanggal 14 Juli 1811. Setelah dipelajaridg seksama Raffles menetapkan bahwa untuk pengangkatan kepala desa, dilakukan pemilihan secara langsung oleh seluruh masyarakat desa yang telah berumur 18 tahun keatas. Untuk pertama kalinya sistem demokrasi langsung dikenalkan oleh Inggris.
Setelah berakhirnya jajahan Inggris tahun l8l6 dan Belanda kembali menguasai Nusantara, laporan Mr. Herman dipelajari dan dipakai sebagai pegangan untuk Komisaris Jendral (Commisarisson General) pemerintah Belanda untuk mencari ketentuan dalam Stbl.l815 Nomor 13, yang menjelaskan bahwa adat lama yang memberikan hak kepada desa untuk memilih dan mengganti kepala desa berlaku terus.
Berdasarkan ketentuan ini, maka Struktur pemerintahan adat yang ada masih tetap berlaku. Baik untuk Jawa, Madura maupun Bali serta daerah setingkat desa di wilayah yang lain. Pengaturan lebih lanjut tentang desa dan daerah setingkatnya diastur dalam Undang-Undang pemerintahan Belanda yang disebut Reglement op het beleit der Ragering Van Netherlands Indie (Regering Reglement, 1854). Pasal 71.
Dalam ayat (l) Undang-Undang ini dikatakan bahwa desa, kecuali dengan persetujuan penguasa yang ditunjuk dengan peraturan umum, memiliki sendiri kepala desa dan pemerintah desa. Gubermur jendral bertugas menjaga hak tersebut dari pelanggaran. Dalam ayat (2) dikatakan bahwa Kepala Desa diserahi pengaturan dan pengurusan rumah tangga desa dengan memperhatikan peraturan wilayah atau pemerintah dari kesatuan masyarakat yang ditunjuk dengan peraturan umum. Dngan demikian, pengaturan tentang pemerintahan desa dan daerah yang setingkat dengan desa yang melandasakan diri pada peraturan adat masih tetap berlaku.
Selanjutnya dalam Indische Staatstregeling (Peraturan ketatanegaraan pemerintah Belanda) pasal 128, diatur lagi tentang pemilihan Kepala desa, yang menegaskan ulang fungsi kepala desa dalam pemerintahan desa (5). Peraturan ini merupakan suatu pengaturan secara yuridis formal untuk pertama kali dalam zaman penjajahan Belanda. Namun bagaimanakah pelaksanaan aturan ini, terutama di TTS dan TTU? Kenyataannya sebagaian besar kerajan-kerajaan masih tetap mempertahankan lembaga adat mereka, dan tidak memberi peluang kepada pemerintah Belanda untuk mencampuri urusan adat mereka.
Praktek penyelenggaraan pemerintahan dalam wilayah kerajaan dan struktur yang ada dibawahnya berjalan menurut hukum adat yang berlaku. Ketentuan tentang kepala desa sesuai dengan pasal l28 I.S tidak diberlakukan. Para raja mengangkat feitor dari kalangan marga yang berhak untuk menduduki jabatan tersebut (azas genealogis). Demikian pula pengangkatan temukung besar sebagai jabatan yang setingkat dengan desa, Feitor mengangkatnya dengan memperhatikan status sosial dan kemargaan dalam masyarakat. Campur tangan Belanda dapat dikatakan tidak berarti apa-apa dalam pengaturan pemerintahan desa, ini terbukti setidaknya dengan banyaknya pergolakan yang menentang pemerintah Belanda.
Selanjutnya pemerintah Belanda mengadakan pembagian wilayah ADMINISTRATIF berdasarkan Stbl. 1871 No 55 yang kemudian dirubah dengan Stbl.1879, No 21. Dengan adanya perubahan ini maka Keresidenan Timor dan daerah taklukkannnya (Residentie Timor on Onderhoorigheden) terdiri atas 3 afdeeling dan 15 Onderafdeeling serta 48 Landschap (Swapraja). Pembagian ini nampaknya mengalami perubahan beberapa kali. Onderafdeeling Oematan dan Mollo meliputi kerajaan Mollo, Meomafo (Amkono) dan Amanuban. Sedangkan Amanatun tidak disebutkan. Apakah termasuk dalam Onderafdeeling lain tidak disebutkan dengan jelas.
Berdasarkan Undang-Undang diatas Timor dibagi atas dua Afdeeling yakni Afdeeling selatan dan pulau-pulaunya dengan ibu negerinya Kupang serta Afdeeling noord an Midden Timor dengan ibu negeri Kapan. Wilayah terakhir ini dibagi lagi atas empat Onderafdeeling yakni:
1. Onderafdeeling Midden Timor dengan ibunegerinya Fapan
2. Onderafdeeling Zuid Midden Timor dengan ibunegeri Niki-Niki
3. Onderafdeeling Noord Midden Timor dengan ibunegeri Famenanu
4. Onderafdeeling Belu dengan ibu negeri Atapu yang kemudian pindah ke Atambua
Pembagian diatas tidak menyebutkan dasar hukumnya. Namun hal ini biasa terjadi, karena Belanda pada masa ini Belanda banyak menghadapi tanntangan dan pembagian wilayah ini sebagai salah satu strategi penguatan posisi, sehingga tidak heran jika penataan yang ada masih sangat simpang siur. Pembagian terakhir wilayah administratif pemerintahan di TTS adalah Onderafdeeling Zuid Midden Timor terdiri dari kerajaan (Landschap) Mollo, Amanatun dan Amanuban, dengan ibu negerinya SoE. Pejabat pemerintahan untuk Onderafdeeling waktu ini disebut dengan Controleur. Sedangkan untuk Afdeeling disebut Pejabat residen. Sedangkan yang dimaksud dengan karesidenan adalah Timor dan daerah taklukannya yang meliputi Timor dan pulau-pulaunya, Flores dan pulau-pulaunya serta Sumba beserta pulau sekitarnya.
c. Perkembangan Struktur Pemerintahan adat (l945-l978)
Ketika proklamasi dikumandangkan oleh Ir. Soekarno pertanda bahwa bangsa Indonesia lepas dari segala bentuk penjajahan dan tindak semena-mena dari bangsa asing. Sehari setelah itu Undang-Undang Dasar l945 telah disahkan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam Undang-Undang tersebut dikatakan jelas bahwa wilayah Indonesia meliputi semua wilayah yang merupakan jajahan Belanda .
Berita ini diumumkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7 halaman 45 kolom l serta hal 46 kolom 2 (dalam batang tubuh) yang menyatakan bahwa “wilayah territorir negara Indonesia terdapat kurang lebih 50 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen (desa) seperti yang ada di Jawa dan Bali, negeri Minangkabau, Dusun dan Marga di Padang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai struktur asli dan oleh karenanya dianggap daerah istimewa. Begitu juga dalam pasal II aturan peralihan UUD dijelaskan bahwa ‘ Segala Badan Negara dan Peraturan Yang ada, masih berlaku selama belum diadakan perubahan yang baru menurut Undang-Undang Dasar.
Begitu juga dalam penjelasan pasal l8 UUD l945, dalam pasal aturan peralihan pasal l Peraturan Pemerintah Nomor Tahun l945 menjelaskan bahwa bentuk pemerintahan Swapraja (Zelfbestuurende Landschappen) dan Volksgeenschappen (desa) dan semua bentuk pemerintahan yang setingkat dengan desa seperti ‘Nagari’, ‘Marga’ dan struktur adat yang lain masih tetap berlaku.
Undang-Undang diatas memberi kesimpulan bahwa Swapraja (kerajaan) yang ada di wilayah TTS dan semua perangkat bawahnya seperti Kefetoran, Ketemukungan besar, Ketemukungan kecil, Lopo dan Nakaf masih tetap berjalan sesuai dengan hukum adat yang telah disepakati oleh masyarakat. Dengan demikian raja-raja di wilayah TTS selaku tokoh adat dibantu oleh para Fetor, Temukung besar dan kecil, Lopo dan Nakaf diberi kekuasaan untuk mengatur pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Namun dalam pelaksanaannya, khususnya dalam hukum adat sendiri masih dijalankan peraturan-peraturan serta ketentuan formal peninggalan Belanda, seperti Zelfbestuur Regeling Tahun l98 No 529, yang berlaku untuk pemerintah Swapraja. Dalam ketentuan tersebut ada perjanjian pendek (Korte Verklaring) antara raja dengan pemerintah Belanda yang masih berlaku pula sistem Inlandsche Gemoente Ordonnantie Ruitengewesten (IGOB) untuk desa dan daerah yang setingkat dengan desa termasuk pula bentuk Ketemukungan. Tugas dan peran Fetor dan Temukung adalah menjalankan pemerintahan termasuk dalam menjamin keamanan, ketertiban, memungut pajak, mengadakan kerja gotong-royong, membina masyarakat di wilayah masing-masing termasuk meyelesaikan perselisihan. Raja (penguasa setingkat dengan Kabupaten), Fetor (setingkat dengan camat), sedangkan Temukung besar (setingkat dengan desa), Temukung kecil setingkat dengan RW.
Setahun kemudian berkaitan dengan rencana Dari. H.J Van Mook dengan konferensi Malino, tanggal l6 juli l946 ada penertiban tentang garis batas penguasaan RI dan pemerintah Belanda. Dalam konferensi tersebut hadir juga beberapa utusan adat dari Timor untuk menegaskan kembali posisi mereka dalam struktur pemerintahan. Namun dalam konferensi Malino yang didapat justru berbeda. Indonesia sepakat dijadikan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang notabene adalah upaya Belanda untuk memecah belah RI. RIS resmi berdiri tgl 7 Desmber l949, perkembangan yang terjadi di Timor saat itu adalah diadakannya serah terima jabatan dari Controleur C. Van Dongeh kepada Utusan pemerintah Daerah TTS C.M.K Amolo.
Beberapa kurun waktu Undang-Undang dan peraturan yang disepakati tetap berjalan, namun pada tahu l955 pergolakan khususnya di TTS mulai memanas. Munculnya beberapa parpol yang menpengaruhi rakyat membuat rakyat yang ada di desa menjadi terkotak-kotak. Tahun ini adalah memang untuk pertama kalinya rakyat Indonesia dikenalkan dengan PEMILU (Pemilihan Umum). Banyak partai yang menjamur antara lain Partai Nasional Indonesia, Parkindo, Parta Katholoik, Partai Murba, dan lain-lain. Khususnya untuk wilayah Amanuban yang cukup berpengaruh adalah calon pribadi atas nama Kusa Nope raja Amanuban dengan tanda gambar kuda. Tanda gambar ini sangat dikenal oleh rakyat Amanuban sehingga akhirnya Nope terpilih menjadi anggoita Konstituante.
Kondisi lain yang rawan dalam masyarakat adalah adanya pertentangan antara Amanuban dengan Kerajaan Amanatun, akibatnya terjadi perang antara kelompok masyarakat sendiri. Sedangkan di Mollo sendiri pertikaian wilayah antar suku menjadi ajang pertumpahan darah. Persoalan batas antara kefetoran sering juga mengganggu sistem keamanan yang sudah disepakati bersama. Kasus lain yang muncul ketika itu bahkan sampai sekarang belum tuntas adalah perbatasan antara Belu dan Timor Tengah Selatan di Totas.
Untuk menetralisir ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No No 69 tahun l958 dan untuk alasan penyeragaman maka sistem dan struktur pemerintahan di seluruh Indonesia disamakan. Karena itu Gubernur Daerah Tingkat I NTT mengeluarkan keputusan sebagaimana tersebut diatas untuk membentuk wilayah administratif Kecamatan diseluruh Daerah Tingkat II di NTT. Jumlah Kecamatan yang dibentuk waktu itu baru 5, yaitu Kecamatan Mollo, Amanatun, Amanuban Barat, Amanuban Tengah dan Amanuban Timur. Dan keputusan ini terus mengalami perubahan sampai sekarang.
Struktur pemerintahan adat yang berada dibawah Swapraja adalah Kefetoran dan Ketemukungan yang seluruhnya berjumlah l7 Kefetoran dan 204 Ketemukungan. Struktur ini akhirnya dihapus dan diganti dengan sebutan ‘Desa Gaya Baru’. Disebut demikian untuk membedakan dengan desa gaya lama. Pembentukan desa gaya baru ini berdasarkan instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT No. Und./l/7, tgl 4 November l964. Namun pembentukan desa ini masih mengalami kesulitan karena pola pikir masyarakat masih tetap memegang adanya sistem genealogis (kepemimpinanan berdasarkan marga dan keturunan)
Upaya ini sebenarnya merupakan upaya politis dari Orde baru ketika itu yang berusaha untuk membuat sentralistik pemerintahan dan memudahkan kontrol sampai pada level masyarakat paling kecil yaitu desa. Semua struktur pemerintahan dibuat Jawanisasi. Sejarah pedesaan terputus pada tahap ini. Kita tidak tahu bagaimana perkembangan pendidikan politik di pedesaan itu akan dapat mencapai tujuan sebuah civic culture. Tiba-tiba sejarah terputus dengan dijadikannya masyarakat sebagai masa mengambang (Floating mass) dalam pemerintahan Orba. Keterlibatan politik secara massal di masa lalu kemudian digantikan oleh keterlibatan elite desa. Hanya dalam saat-saat tertentu masyarakat diajak mengenang kembali partisipasi politik mereka, yaitu pada saat-saat menjelang pemilu. Masyarakat desa diajak untuk meninggalkan ideologi komunal mereka. Parochial-participant culture digantikan dengan subject paticipan culture.
Kemudian mengenai nasib para Fetor yang diberhentikan, diambil kebijakan oleh Bupati Kepala Daerah melalui pertemuan tatap muka tanggal l8 Juli l968, bahwa mereka mencapai masa pemberhentian samapai batas usia pensiun. Dan mereka yang belum mencapai waktu untuk pensiun dialihkan menjadi pegawai daerah. Karena pembentukan desa gaya baru dilaksanakan pada masa transisi, yakni pergantian Ketemukungan Besar (Desa Gaya Lama/Tradisional) untuk menghindari kemungkinan timbulnya goncangan atau keresahan dalam masyarakat maka faktor genealogis masih turut diperhatikan. Peniadaan unsur genalogis hanya apabila berkaitan dengan faktor teritorial dan jumlah penduduk. Namun pada daerah tingkat II hal ini belum memungkinkan.
Akibat masih adanya Fetor-Fetor yang diangkat berdasarkan marga dan keturunan dalam desa gaya baru maka dalam kurun waktu berikutnya terdapat desa-desa yang memiliki wilayah kantong (enclave). Misalnya desa Oebasa dengan wilayah kantong Mnelafau, Desa Liliana dengan wilayah kantongnya Haumetan, dan sebagainya. Untuk mengatasi itu akhirnya banyak desa yang dibentuk namun banyak juga yang akhirnya digabung pada tahun l980 awal.
d. Perkembangan Struktur adat (l978- sekarang)
Mengingat bahwa sekian kali telah terjadi berbagai macam perubahan dan pemindahan kantor desa sebagai pusat pelayanan kepada masyarakat serta sebagai suatu struktur pemerintahan, pembangunan serta kemasyarakatan dari suatu tempat ke tempat lain maka sungguh surta Bupati Kepala Daerah Tingkat II Timor Tengah Selatan Nomor Pemerintah.Des l45/4/256/1989 tgl 8 September dan No Pemerintah. Des. 145/4/6/1990, tgl 3 Januari 1990 ditetapkan nama-nama Kelurahan yang resmi.
Dalam struktur pemerintahan ini masih dikenal adanya Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai salah satu unsur pemerintah desa. Fungsinya dimaksudkan sebagai lembaga permusyawaratan masyarakat yang angotanya terdiri dari Kepala Dusun, pemimpin lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat. Disini lembaga adat diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sampai munculnya Undang-Undang No 22 tahun 99 yang mengusik kembali adanya hak-hak ulayat masyarakat adat serta nilai ekonomis yang dimiliki oleh setiap adat.
E.2. Kecamatan Amarasi
Kecamatan Amarasi merupakan satu, dari sembilan belas Kecamatan yang ada di Kupang, dengan tingkat densitas assosiasional yang masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari masih sangat sedikit lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat Amarasi. Kelompok-kelompok inipun masih banyak menggunakan cara-cara tradisional berdasarkan ikatan teritorial maupun kekerabatan. Kecamatan Amarsi cenderung sangat homogen dari segi etnis, karena itu dalam situasi seperti ini struktur kekerabatan dapat menjadi tali penghubung antara satu desa dengan desa yang lain, walaupun sistim sosial kekerabatan pada dasarnya tidak menghapuskan proses feodalisasi dalam sistem sosial dengan adanya keluarga-keluarga yang secara tradisional berperan sebagai Fetor.
Dalam hal penguasaan atas tanah, sama seperti banyak daerrah lain, bahwa tanah-tanah ulayat akhirnya dikuasai oleh negara. Struktur tanah Amarasi, banyak ditumbuhi oleh pohon tuak. Yang akhirnya menjadi salah satu mata pencaharian penduduk. Bahkan mereka mempunyai prinsip hidup yang disebut Moa Tua Do Lefe Bafi, artinya kehidupan dapat bersumber cukup dengan mengiris pohon tuak dan memelihara babi. Dan memang secara tradisional orang-orang memulai perkampungan melalui pengelompokan batih dari pekerjaan mengiris tuak tersebut. Sehingga pada mulanya ketika ada sekelompok tanaman lontar yang bisa disadap pada suatu kawasan tertentu maka tempat ini akan menjadi tempat pemukiman utama.
Para pemula pengiris tuak (penyadap nira pohon lontar) biasanya mendirikan semacam dangau kecil beratap lontar yang dijadikan sebagai tempat menima lontar (haik) dengan ukuran sedang. Kelompok inipun semakin banyak di setiap kawasan. Hingga akhirnya dianggap perlu untuk pemukuman yang tetap. Dari sini mulailah pengelompokan masyarakat berdasarkan keluarga batih, yang diperluas menjadi asas geneologis.
E.2.1. Sistem Perekonomian dan Pelayanan
Ekonomi kecamatan Amarasi dapat dibagi dalam dua wilayah pertumbuhan ekonomi, Wilayah pertama merupakan desa-desa yang dahulunya berada di wilayah Kefetoran Oekebiti dan Buraeng. Desa-desa tersebut menjadikan Oekebiti sebagai pusat aktivitas ekonomi sekaligus sentral dalam pelayanan publik. Sedangkan wilayah kedua berada di desa-desa yang dulunya ada dalam wilayah Kefetoran Baun. Pembedaan ke dalam wilayah ekonomi itu semakin terlihat jelas dari proses transaksi ekonomi dari masyarakatnya. Penduduk desa seputar Oekebiti akan memilih pasar di Oekebiti sebagai tempat pertukaran ekonomi. Begitupula sebaliknya, desa-desa seputar Baun akan menggunakan Pasar Baun untuk aktivitas ekonominya.
Adanya dua wilayah ekonomi ini disamping karena format pembagian wilayah kekuasaan lalu melalui model Kefetoran, juga diakibatkan pada faktor orbitasi antara desa-desa seputar Baun dengan ibukota Kecamatan Amarasi di Oekebiti. Aktivitas ekonomi yang berada di seputar Baun akan lebih dekat dipengaruhi oleh ekonomi kota Kupang dibandingkan dengan ibukota kecamatan di Oekebiti. Pengaruh ekonomi di kota Kupang menjadi sesuatu yang masuk akal karena jarak Baun ke Kupang lebih dekat daripada Baun ke Oekebiti.
Selain gravitasi ekonomi Baun lebih dekat ke Kupang, ekonomi Oekebiti juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan pasar di Kupang Timur. Kedudukan pasar Oesao yang strategis antara pusat ekonomi Kupang dengan kecamatan pinggiran membuat para pedagang Amarasi tertarik ke Oesao dibandingkan membangun kekuatan pasar sendiri.
Luas Lahan di Kecamatan Amarasi yang seluas 7l7.628 Ha, dapat dibagi dalam tanah sawah dan tanah kering. Dari keseluruhan, luas tanah sawah 28.468 Ha, dan tanah kering 689.60 Ha. Diantara tanah kering beberapa difungsikan untuk pekarangan (10.377 Ha). Tegal/kebun (6.994 Ha). Ladang Huma 31.548 Ha serta hutan adat yang dijadikan milik negara seluas 126.187 Ha. Namun demikian Kecamatan Amarasi meletakkan ekonomi perladangan sebagai tulang punggung perekonomiannya. Dua komoditi andalannya adalah Jagung dan Padi ladang. Biasanya mereka menanam jagung dan Padi bukan untuk dijual ke pasar melainkan untuk konsumsi sendiri.
Dalam ekonomi perladangan, tingkat produktivitas ekonomi akan sangat tergantung pada musim. Pada musim kemarau tentu akan mengalami paceklik. Untuk mengatasi hal ini masyarakat biasanya akan menjual barangnya untuk membeli beras. Selain ladang, masyarakat Amarasi juga mempunyai komoditi kelapa (kira-kira 500 pohon) dan kemiri (688) pohon. Untuk tanaman kemiri memang tidak terdapat di seluruh wilayah Amarasi begitu juga dengan tanaman sayur-mayur seperti sawi, kol, wortel dan kentang, semua hanya dapat dijumpai di Tesbatan. Daerah yang sangat subur di Amarasi dengan air terjun yang digunakan sebagai andalan perairannya.
Diluar sektor pertanaian Amarasi juga mengandalkan sektor peternakan, terutama sapi. Sapi yang diternak biasanya menggunakan sistem paron. Namun sektor ini juga mengalami saat-saat krisis ketika terjadi serangan kutu loncat pada tanaman lamtoro yang merupakan pakan utama ternak, Krisis pakan ini akhirnya menyebakan penurunan jumlah poduksi sapi.
Dalam sektor perdagangan, Amarasi merupakan penghasil pasir dan batu gamping. Jumlah cadangan batu gamping di Kecamatan Amarasi adalah sebesar 781,2 juta meter kubik. Penggalian pasir terdapat di desa Merbaun dan Pakubaun. Sedangkan batu putih (gamping) dapat diusahakan di empat desa yaitu Retraen, Ponaen, Kotabes dan Buraeng, dengan jumlah penambang lebih dari 120 orang.
Amarasi mempunyai lembaga perbankan, namun belum semuanya dapat diakses oleh seluruh rakyat Amarasi. Misalnya adanya Bank Rakyat Indonesia, hanya bisa menjangkau sampai di Oesao, di wilayah Kupang Timur. Dan kebanyakan dari masyarakat yang menggunakan fasilitas perbankan adalah pegawai negri, sehingga dapat diakatakan minat masyarakat terhadap perbangkan sangat rendah.
Begitu juga dengan fasilitas ekonomi yang tidak terlalu kompleks, tidak ada pedagang besar lintas Amarasi, yang ada hanya pedagang kecil/mikro yang berjualan di sekitar kios-kios desa. Jumlahnya kira-kira 289 kios di Kecamatan Amarasi. Adanya KUD sebagai Koperasi Unit Desa, membantu dalam hal pemasaran hasil produksi masyarakat Amarasi (baik anggota maupun bukan). KUD biasanya akan melakukan negosiasi dengan pengusaha di Kupang sebagai penampung dan pedagang besar. Dengan demikian KUD bertindak sebagai broker atau perantara. Keuntungan yang diperoleh KUD biasanya berkisar antara 0-40%. Dan keuntungan ini akan dikembalikan kepada anggota dalam entuk SHU (Sisa Hasil Usaha).
Masalah perekomian yang paling pelik dihadapi oleh masyarakat adalah kehadiran papelele, papalele adalah orang lokal yang bergerak dalam sistem perdagangan sapi. Rantai perdagangan melalui papelele ini membuat harga yang dibeli dari petani sangat rendah, sedangkan pedagang dapat menikmati harga yang cukup tinggi. Papalele ini hampir mirip dengan sistem ijon untuk wilayah Jawa dan sekitarnya. Ia bukan hanya merambah peternakan tapi juga pertanian. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan seperti kemiri dan pisang, dibeli dengan harga yang sangat murah. Bahkan ketika belum masakpun sudah ditebas. Sebenarnya ada keinginan dari masyarakat untuk memasarkan sendiri hasil-hasil tersebut, namun mereka terbentur dengan biaya transportasi yang bukan saja mahal tapi juga langka, keculai jika punya kendaraan sendiri. Fenomena ini sudah sangat lama terjadi dan menggelisahkan masyarakat, namun mereka tidak tahu apa yang dapat mereka lakukan untuk itu.
E.2.2. Sistem Adat dan Kefetoran Kefetoran Di Amarasi
Amarazi dibagai dalam empat Kefetoran yaitu Baun, Merbaun Siba dan Oekebiti. Jika dikaji Kefetoran adalah pemerintahan setingkat dengan kecamatan. Masing-masing Fetor dipilih dari kelompok Marga yang dianggap paling kuat, misalnya Kefetoran Oekebiti dipimpin oleh keluarga dari marga Abineno. Kefetoran Baun dari marga Taninti, Kefetoran Merbaun dari keluarga Antiran dan Soba berasal dari marga Kapitan.
Kefetoran oleh Belanda ditempatkan dibawah pemerintahan Swapraja. Pemerintahan Swapraja dipilih oleh seorang Raja (Regent) yang biasanya diambil dari penguasa tradisional. Misalnya untuk Swapraja Kupang Rajanya berasal dari marga Nisnone. Sedangkan Fetor (orang kedua dalam bahasa Timor) artinya adalah orang kedua. Dibawah Kefetoran terdapat desa-desa yang dipimpin oleh seorang Temukung. Temukung terdiri dari dusun-dusun yang dipimpin oleh Barnemen (Kepala Kampung). Kepala kampung mempunyai bawahan yang disebut dengan Makapa (kaki ringan), yang bertugas untuk menyebarkan perintah dan memberikan berita dari penguasa kepada seluruh warga, kerjanya hampir mirip dengan tukang pos. Karena itu untuk tugas ini biasanya dipilih dari seorang warga dengan postur tubuh yang tinggi, pandai bicara dan lari yang cepat, karena terkadang untuk memudahkan penyebaran informasi Makapa akan naik gunung dan menggemakan suaranya dengan alat dari bambu sehingga terdengar suaranya diseluruh penjuru.
Tugas seorang Fetor adalah membantu kerja Swapraja menarik pajak, menyelesaikan pertikaian yang terjadi antar warga termasuk menjaga wilayah Kecamatan dari segala ancaman dan gangguan dari dalam maupun dari luar wilayahnya. Disamping itu Fetor juga berhak atas hasil bumi (upeti) dari Temukung-temukung yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Fetor juga menghadiri pesta yang diadakan oleh penduduk, untuk itu penduduk yang ingin mengundang Fetor akan menyampaikan kepada Temukung. Kemudian penduduk yang mengadakan pesta bersama Temukung menjemput Fetor dengan Kuda atau tandu ke tempat pesta. Setelah selesai penduduk yang mengadakan hayatan akan memeberikan persembahan berupa beras dan babi.
Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga Raja dan Fetor, setiap hari warga secara bergilir akan menyediakan tenaga untuk kebutuhan seperti mencuci, masak, membersihkan rumah termasuk tugas-tugas rumah tangga yang lain. Disamping itu dalam setiap Temukung masyarakat mempunyai Kebun Kolektif yang disebut dengan Etu. Setiap panen, hasil kebu kolektif tersebut akan dikirimkan ke gudang milik Fetor dan Raja. Selain itu penduduk juga masih harus mebayar pajak pribadi dalam bentuk uang Belanda yang disebut Naiknuif. Sampai di disini sistem kekuasaan tradisional di Timor hampir tidak bisa dibedakan secara tegas mana kepemilikan pribadi dan mana kepemilikan kolektif karena Raja dan Fetor sekaligus berkuasa atas pemilikan tanah (Land Lord). Namun hal ini mengalami perubahan cepat setelah adanya perubahan perundang-undangan pemerintahan (setelah zaman Swapraja).
Namun setelah perubahan perundang-undangan pemerintahan (setelah zaman Swapraja) Amarasi dibagi dalam tiga Kefetoran, yaitu Baun dengan Fetornya dari marga Koroh dengan 20 temukung. Kefetoran Buraeng oleh marga Taninti 20 temukung dan Oekebiti oleh marga Abineno dengan 27 Temukung. Pergantian Undang-Undang tersebut diikuti dengan penggabungan tiga Kefetoran tersebut dalam satu kecamatan, Amarsi. Dan ibukotanya kemudian dipindahkan ke Oekebiti dibawah kekuasaan marga Abineno. Akan tetapi Camat Amarasi yang pertama tetap berasal dari Marga Koroh, padahal secara administratif dan geografis wilayah Baun jauh terpisah dari 2 Kefetoran lainnya. (l2 km dari Kota Kupang).
Hadirnya struktur baru ini menimbulkan beberapa implikasi pada penguasa Kefetoran lama. Jabatan Camat yang diangkat oleh pemerintah mempersempit ruang bagi keturunan Fetor untuk menduduki Jabatan tersebut, sehingga yang terjadi adalah perpindahan perebutan jabatan politik pada level kecamatan ke desa dimana marga dominan masih tetap mempunyai pengaruh dalam masyarakat termasuk dalam setiap pemilihan pilkades.
Kemudian dari segi kebiasaaan adat yang kekuasaan semula ada di tangan Fetor, sekarang menjadi terpecah-pecah, begitu juga dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada Fetor dan Camat keduanya makin rancu. Kerancuan ini pertama disebabkan karena masyarakat belum terbiasa dengan sistem ini, sehingga sistem adat yang diadopsi menimbulkan beberapa konflik antara pemangku adat maupun struktur pemerintahan atau Camat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam perjalanannya banyak masyarakat yang lebih mempercayai tokoh adatnya dari pada Kepala Desa mereka, yang menurut Undang-Undang ditetapkan oleh Kabupaten. Banyak peristiwa-periatiwa yang membuat kecemburuan tokoh adat terhadap Kepala desa yang dipilih oleh Kabupaten. Seperti pengakuan J. B Abineno dalam suatu wawancara di Oekebiti, Kecamatan Amarazi. Beliau adalah Fetor terakhir di Oekebiti sebelum Kefetoran dan Ketemukungan dihapus. J. B. Abineno mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap pemerintah lantaran, pertama, sebagai pemangku adat dia diserahi untuk menjaga hutan. Namun tidak ada gaji sesenpun diterima. Sementara petugas dari perhutani digaji setiap bulannya.
Kedua, hak belis (penyerahan bingkisan yang dahulu diperuntukkan Fetor sebagai penguasa) sekarang justru diserahkan kepada Kepala desa setempat beserta Camat. Sedangkan Fetor tidak mendapat apa-apa. Padahal dalam acara ritualnya pernikahan misalnya Fetorlah yang mengesahkan apakah mereka sah sebagai suami-istri atau belum menurut adat. Pemerintah seperti kepala desa dan camat hanya berkepentingan terhadap administratifnya saja.
F. MARGINALISASI MASYARAKAT ADAT
Marginalisasi masyarakat adat terjadi ketika masyarakat tidak bisa lagi menentukan nasibnya dengan sistem adat dan aturan yang mereka punya. Dimana pemangku adat tidak punya kekuasaan kembali atas hukum-hukum adat yang mereka jalani. Serta keterbatasan akses terhadap dunia luar yang membelenggu mereka dalam keterasingan yang berkepanjangan. Marginalisasi dapat terjadi dalam tiga aspek, yaitu politik, sosial-budaya dan ekonomi. Keempatnya terkadang sangat susah dipisahkan karena mempunyai beberapa kaitan yang sangat erat.
F.1. Marginalisasi Politik
Marginalisasi politik biasanya selalu dimulai dengan perubahan kebijakan perubahan perundangan-undangan dari pemerintah. Perubahan yang berlangsung di negara kita dengan sistem penyeragaman dengan Undang-Undang No 74, ternyata justru membuat masyarakat adat termarjinalkan. Kekuasaan mereka semakin sempit. Peluang untuk menduduki jabatan struktural hanya segelintir orang yang mampu meraihnya, Keterbatasan ini biasanya berkaitan dengan dua hal. Pertama, sistem pemerintahan adat biasanya dilakuakan berdasarkan garis keturunan. Ataupun marga dominan yang menjadi penguasa dalam suatu wialyah. Sementara dengan struktur baru keputusan menduduki jabatan struktural segalanya diatur dari pusat.
Kedua, Akses masyarakat adat terhadap pendidikan, termasuk informasi sangat terbatas, sementara pemerintah telah menetapokan standart kepemimpinan dalam suatu pemerintahan untuk tingkat desa sekalipun. Perubahan ini tentu menimbulkan rasa tidak puas dan cemburu yang berkepanjangan. Contoh kasus adalah yang terjadi di Amarasi, kususnya di Kefetoran Oekebiti. J.B Abineno, Fetor terakhir di Oekebiti yang menjadidi sasksi sejarah hilangnya kekuasaan adat yang ada di daerahnya.
Setelah perubahan perundang-undangan pemerintahan (setelah zaman Swapraja) Amarasi dibagi dalam tiga Kefetoran, yaitu Baun dengan Fetornya dari marga Koroh dengan 20 temukung. Kefetoran Buraeng oleh marga Taninti 20 temukung dan Oekebiti oleh marga Abineno dengan 27 Temukung. Pergantian Undang-Undang tersebut diikuti dengan penggabungan tiga Kefetoran tersebut dalam satu kecamatan, Amarsi. Dan ibukotanya kemudian dipindahkan ke Oekebiti dibawah kekuasaan marga Abineno. Akan tetapi Camat Amarasi yang pertama tetap berasal dari Marga Koroh, padahal secara administratif dan geografis wilayah Baun jauh terpisah dari 2 Kefetoran lainnya. (l2 km dari Kota Kupang).
Hadirnya struktur baru ini menimbulkan beberapa implikasi pada penguasa Kefetoran lama. Jabatan Camat yang diangkat oleh pemerintah mempersempit ruang bagi keturunan Fetor untuk menduduki Jabatan tersebut, sehingga yang terjadi adalah perpindahan perebutan jabatan politik pada level kecamatan ke desa dimana marga dominan masih tetap mempunyai pengaruh dalam masyarakat termasuk dalam setiap pemilihan pilkades.
Kemudian dari segi kebiasaaan adat yang kekuasaan semula ada di tangan Fetor, sekarang menjadi terpecah-pecah, begitu juga dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada Fetor dan Camat keduanya makin rancu. Kerancuan ini pertama disebabkan karena masyarakat belum terbiasa dengan sistem ini, sehingga sistem adat yang diadopsi menimbulkan beberapa konflik antara pemangku adat maupun struktur pemerintahan atau Camat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam perjalanannya banyak masyarakat yang lebih mempercayai tokoh adatnya dari pada Kepala Desa mereka, yang menurut Undang-Undang ditetapkan oleh Kabupaten. Banyak peristiwa-peristiwa yang membuat kecemburuan tokoh adat terhadap Kepala desa yang dipilih oleh Kabupaten. Seperti pengakuan J. B Abineno dalam suatu wawancara di Oekebiti, Kecamatan Amarazi. Beliau adalah Fetor terakhir di Oekebiti sebelum sistem Kefetoran dan Ketemukungan dihapus. J. B. Abineno mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap pemerintah lantaran, pertama, sebagai pemangku adat dia diserahi untuk menjaga hutan. Namun tidak ada gaji sesenpun diterima. Sementara petugas dari perhutani digaji setiap bulannya.
Kedua, hak belis (penyerahan bingkisan yang dahulu diperuntukkan Fetor sebagai penguasa) sekarang justru diserahkan kepada Kepala desa setempat beserta Camat. Sedangkan Fetor tidak mendapat apa-apa. Padahal dalam acara ritualnya pernikahan misalnya Fetorlah yang mengesahkan apakah mereka sah sebagai suami-istri atau belum menurut adat. Pemerintah seperti kepala desa dan camat hanya berkepentingan terhadap administratifnya saja.
Kecemburuan yang sama terjadi hampir di seluruh daerah, termasuk TTS. Namun ada sedikit perbedaan dari wilayah ini. Pertama, karena letak TTS yang jauh dari ibukota propinsi, membuat penghormatan mereka terhadap tokoh adat yang ada jauh lebih termanifes dari pada di Amarazi. Kedua, masyarakat TTS lebih erat dari sisi adat dan kekerabatan, sehingga walaupun struktur dirubah dalam bentuk formal, ritual adat tidak pernah berubah, walaupun mengalami erosi serius.
F.2. Marginalisasi Ekonomi
Kepentingan ekonomi seringkali menjadi dilema serius dalam penempatannya, apakah ia akan ditempatkan dalam suatu sistem pembelaan masyarakat yang akan berwujud dengan pembukaan lapangan kerja, pengurangan pengangguran dan peningkatan kesejahteraan seperti yang diangkapkan oleh Todaro. Ataukah dia menjadi suatu roda kekuasaan dimana kapitalisme justru menjadi roda penggilas bagi masyarakat yang lemah dan tertindas.
Penindasan yang berdampak terhadap marginalisasi adatpun dapat dibahas dalam empat level. Pertama, penindasan yang dilakukan dengan perubahan perundangan. Ini masih erat kaitannya dengan semakin besarnya kekuasaan negara dan semakin sempitnya kekuasaan adat terhadap penguasaan atas tanah dan kekuasaan atas struktur kepemimpinan lokal. Kedua, penindasan yang dilakukan murni umtuk kepentingan ekonomi kapitalisme. Kepentingan-kepentingan ini kadang saling berbenturan anatara kepentingan masyarakat adat secara keseluruhan maupun kepentingan pemerintah dan penanam saham.
Ketiga, namun marginalisasi ini dapat juga dipahami karena keterbatasan adat terhadap penguasaan akses-akses ekonomi masyarakat terhadap struktur ekonomi yang lebih besar. Mereka lemah dari segi penjualan (penawaran). Hal ini berkait dengan minimnya informasi dan pengetahuan tentang ekonomi disatu sisi dan keterbatasan transportasi yang membuat mereka tidak dapat secara langsung memasarkan hasil produksi pertanian ke pusat perekonomian.
Keempat, kurangnya krativitas masyarakat membuat sistem produksi tidak berubah dan hasil produksi tidak dapat meningkat drastis per-tahunnya. Kondisi ini semakin dipersulit dengan kondisi alam yang kurang bersahabat, seperti iklim dan minimnya pengairan di NTT.
F.3. Marginalisasi Sosial - Budaya
Tidak jauh berbeda, marginalisasi ini berkaitan dengan erat penuasaan atas tanah-tanah suci milik adat yang hendak dijadikan sebagai salah satu komoditi ekonomi di NTT. Namun dalam beberapa hal pemerintah, melakukan kesalahan serius berkaitan dengan perubahan undang-undang atas tanah ada menjadi tanah negara.
Sumber-sumber agraria yang ada dari bekas jajahan Belanda erat kaitannya dengan sistem tenurial (tenure system), atau sama artinya dengan sistem penguasaan atas sumber daya agraria dalam suatu masyarakat. Kata tenure berasal dari bahasa latin tenere yang artinya memelihara, memegang dan memiliki. Menurut Wiradi (1984) istilah ini biasa dipakai dalam uraian membahas masalah penguasaan sumber daya.
Dalam setiap tenure masing-masing setidaknya mengandung tiga komponen, pertama, Subyek hak. yang berarti pemangku hak atas siapa hak tersebut diletakkan. Subyek hak ini bervariasi, bisa dari individu, rumah tangga, kelompok suatu komunitas, kelembagaan sosial ekonomi bahkan lembaga politik setingkat negara.
Kedua, Objek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh di atas tanah. Barang-barang tambanga atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barang-barang atau mahkluk hidup dalam suatu kawasan perairan, kandungan barang-barang atau makhluk hidup maupun kawasan atau wilayah udara tertentu. Untuk hak obyek bisa bersifat total, bisa juga bersifat parsial. Misalnya seseorang yang mempunyai hak atas pohon sagu maka dengan sendirinya dia juga berhak atas tanah dimana pohon tersebut berdiri.
Ketiga, jenis haknya, setiap hak dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut yang membedakan dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang dari hak milik, sewa, hingga hak pakai, dan lain sebagainya tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menentukannya. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain (mulai dari individu hingga negara) dan berlakunya dalam setiap kurun waktu tertentu.
Dengan melihat sistem ini, maka beberapa kasus yang ada baik di SoE maupun Amarazi berkaitan dengan hal ini. Pertama kasus penggalian gunung marmer di SoE, yang memulai perencanaannya di tahun 1997, oleh investor raksasa Hasta Karya. Kira-kira sudah sebesar Rp 3 M dana yang dikeluarkan untuk penggalian gunung Marmer tersebut. Mulai dari perencanaan sampai beberapa titik awal proses penggalian ini. Proses sosialisasi yang sudah dilakukan antara lain, pertama bermitra dengan masyarakat. Investor membuatkan Lopo sebagai salah satu tempat untuk berdiskusi. Kedua, beberapa putra daerah yang notabene masih keturunan Raja disekolahkan ke Jawa dengan harapan nantinya bisa ikut andil dalam penambangan ini. Ketiga, membuat jalan tambahan agar tidak merusak jalan rakyat. Dari hal tersebut sebenarnya 80 persen masyarakat sudah merespon dengan baik dan pada dasarnya mereka setuju.
Namun ada beberapa hal yang dianggap Fatal oleh masyarakat, yang akhirnya menyebabkan kegagalan proyek ini. Pertama, Investor datang tidak dengan membawa satu hal penting yang sangat dihormati oleh penduduk setempat, yaitu Okomama. Okomama adalah wadah tempat sirih pinang yang terbuat dari daun lontar. Di dalamnya berisi seperangkat bahan-bahan untuk nginang serta sejumlah uang. Okomama merupakan simbol ‘pendekatan’. Orang yang datang dengan membawa Okomama akan dianggap sebagai saudara dan akan diterima dengan sangat baik. Dalam sejarahnya Okomama digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan pertengkaran, ataupun perselisihan. Okomomama membuat masyarakat menjadi tenang. Hal penting yang lain Okomama membawa simbul ‘persaudaraan’.
Walaupun dalam perjalanannya Okomama sering digunakan untuk kepentingan politik. Misalnya, saat menjelang pemilu Okomama bahkan tidak jarang digunakan sebagai alat untuk kampanye. Kasus lain misalnya ketika orang asing datang dan meminta sepenggal tanah dengan Okomama, biasanya mereka akan memberikan sebagaian dari tanah ladang atau sawahnya sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah. Namun tidak jarang kemudian tanah ini dijual lagi kepada orang yang berbeda. Selain membuat tanah menjadi terpecah, penguasaan atas tanah dalam perjalanan berikutnya menjadi sangat tidak terkontrol.
Kedua, investor kurang membuat pendekatan secara antropologis terhadap kebiasaan masyarakat Timor khususnya TTS, terutama berkaitan dengan kebiasaan ritual mereka. Seperti diketahui bahwa orang TTS khususnya sangat erat dengan penghormatan terhadap alam semenjak nenek moyang mereka. Mereka mengenal tiga semboyan dalam mengarungi hidup, yaitu Fautnakaf artinya batu yang bertuah, Oenakaf atau air yang bertuah serta Haukanaf atau pohon yang bertuah. Untuk itu mereka selalu membuat penghormatan terhadap ketiganya di tempat yang mereka anggap sakral atau kudus. Di salah satu sisi tempat marmer tersebut akan digali ada satu tempat penyembahan masyarakat, yang sebelumnya kurang diteliti terlebih dahulu. Tentu ini membuat masyarakat menjadi sangat kecewa.
Ketiga, kedatangan para investor tidak disertai dengan upacara ritual yang selalu dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai penghormatan terhadap penguasa yaitu Euis Neno, atau dewa dunia langit. Euis Pah atau dewa bumi dan Euis Oei atau dewa air dan laut. Dalam kebiasaan mereka masyarakat TTS penghormatan terhadap dewa bumi dilakukan dengan ‘jatuhnya tetesan darah membasahi bumi’ sebagai tanda tunduk, hormat dan taat terhadap tanah dan bumi yang bertuah serta Euis Pah sebagai penguasa.
Keempat, dalam proses musyawarah yang sudah dilakukan dengan masyarakat di dalam Lopo yang sudah dibuat oleh investor ada satu kesalahan fatal. Kesalahan tersebut adalah delapan Amaf yang ada waktu itu tidak duduk bersama dalam satu diskusi untuk pengambilan keputusan. Kebiasaan orang TTS dalam menghadapi setiap permasalahan dalam wilayah regional diwajibkan kepada delapan Amaf yang ada agar duduk bersama membahas setiap keputusan.
Kelima, dalam kasus marmer ini adalah tidak ada seorang feotnai-pun (Feotnai adalah saudara perempuan Amaf atau raja. Feotnai mempunyai kedudukan yang penting dalam setiap pengambilan keputusan oleh Amaf ataupun Raja), yang disekolahkan ke luar daerah. Selain menimbulkan kecemburuan di antara para Fetnai, perselisihan antar kelompok semakin dikobarkan dengan semangat masing-masing komponen adat dalam mendapatkan haknya.
Keenam, adalah alasan yang berkaitan dengan struktur geografis di SoE yang selama ini dianggap sebagai salah satu dataran tinggi yang mempunyai sumber air terbesar di NTT . Dari sumber air ini dapat mengairi wilayah beberapa wilayah NTT yang ada dibawahnya. Walaupun untuk pendapat terakhir ini ada beberapa organisasi yang menyanggah dengan asumsi “tidak akan mungkin air dapat sampai ke Kupang dan sekitarnya dengan struktur tanah yang sangat kering seperti NTT’.
Ketuju, berkaitan dengan penggunaan Jalan untuk kepentingan penambangan marmer membuat banyak jalan rakyat sebagai satu-satunya jalur transportasi menjadi terhambat, bahkan rusak. Sebagai konsekuensi seperti diungkap diawal sebenarnya investor sudah bayak membuat jalur alternatif, namun sepertinya itu belum cukup dan masih banyak menggunakan jalur utama milik rakyat. Akibatnya rakyat semakin merasa dirugikan.
Terakhir berkaitan dengan penambangan adalah Pabrik yang direncanakan akan didirikan justru diluar SoE. Ini bahkan sangat tidak masuk diakal oleh penduduk setempat. Harapan mereka tentu agar mereka juga dapat menikmati hasil dari berdirinya pabrik tersebut. Namun jika Pabrik-pun didirikan di luar daerah maka masyarakat merasa hanya dijadikan sebagai tempat eksploitasi semata.
Pendapat ini tentu tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Karena dalam masyarakat sendiri ada pendapat yang berbeda. Sebagaian dari mereka ada yang menyetujui penambangan marmer tersebut sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekitar. Pemikiran mereka sebenarnya sudah banyak dipengaruhi oleh sistem pengelolaan alam, sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan seperti “Buat apa kita punya gunung Marmer kalau rakyat sekitar hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan?” Namun pertanyaan ini sering kontradiktif dengan masyarakat yang tidak setuju penambangan Marmer ini, “Buat apa gunung Marmer kita ditambang jika Investor saja yang diuntungkan?’ Kenapa rakyat sekitar harus menjadi buruh di rumah sendiri. Pertentangan ini menjadi suatu polemik yang menggelisahkan.
Persekutuan Masyarakat Adat Mollo, tgl 8 Agustus l999 mengeluarkan Pernyataan penolakan terhadap proyek pertambangan tersebut berdasarkan pertimbangan. Pertama, Lokasi pertambangan dan proyek yang mau ditambang dalam hal ini gunung Fatu Nanusu, Fatu Anjaf dan Fatu Nua Mollo merupakan gunung batu keramat dan suci milik masyarakat adat Mollo dan Timor umumnya dimana disitu masyarakat melakukan upacara adat. Kedua, Dalam gunung batu tersebut yaitu Fatu Nasusu dan Fatu Anjaf sementara tersimpan benda-benda purbakala seperti kumbang, poci, muti patung, alu, lesung serta kuburan nenek moyang dan lain-lain. Benda-benda ini selama ini mereka pelihara karena dianggap memiliki nilai sejarah dan religius yang tinggi. Barang-barang tersebut termasuk dalam situs purbakala yang harus dilindungi dan dilestarikan menurut Dirjen Purbakala sekitan tahun 1990-an.
Ketiga, Gunung batu Fatu Nasusu dan Fatu Anjaf merupakan ibu batu yang menyusui seluruh tanah Timor karena dari sinilah mengalir sumber mata air yang bermuara pada daerah aliran sungai Noelmina, Noelbnenain serta mensuplai air bagi daerah yang ada di pulau TTS. Keempat, Fatu Nasusu, Fatu Anjaf dan Fatu Nua Mollo merupakan bagian dan wilayah seluas 12.000 ha yang oleh menteri Kehutanan RI telah ditetapkan sebagai kawasan Cagar alam gunung Motis, serta sebagai kawasan hutan lindung gunung Mutis-Timau, seluas 25.000 ha. Yang salah satu fungsinya adalah daerah resapan air.
Kelima, PT Karya Hasta Alam dan PT Kawan Setia Pramesti telah melanggar hukum hukum usaha pertambangan karena belum memiliki ijin lokasi serta belum menyelesaikan AMDAL namun mereka telah melakukan eksploitasi. Alasan yang lain meraka tidak melibatkan partisipasi masyarakat TTS khususnya di Mollo. Keenam, Kemungkinan adanya erosi tanah akibat ledakan dinamit dan penggunaan alat-alat berat oleh kedua PT tersebut merusak tekstur tanah yang kedalamannya sangat dangkal atau hanya berkisar < 9 cm dan kimiringan berkisar 43,90 m.
Dengan dasar tersebut diatas masyarakat mengeluarkan tuntutan yang ditujukan kepada menteri Pertambangan dan Energi, pada tgl yang sama, isinya antara lain pertama, Pemda Tingkat I Nusa Tenggara Timur agar segera menghentikan segala bnetuk bentuk pertimbangan di Fatu Nasusu, Fatu Anjaf dan Fatu Nua Mollo serta mencabut izin pertambangan dari PT Kasya Hasta Alam dan PT Kawan Setia Pramesti.
Kedua, Pemda Tk I Nusa Tenggara Timur agar membatalkan semua izin dan rencana pertambangan marmer di TTS karena mengancam keselamatan manusia, hewan, tumbuhan serta pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Ketiga, Pemda Tingkat I NTT agar segera mengembalikan pengelolaan dan pemanfaatan Fatu Nasusu, Fatu Anjaf dab Fatu Nua Mollo kepada masyarakat adat Mollo agar digunakan sesuai dengan fungsinya semula sebagai salah satu penghormatan terhadap sejarah, kebudayaan dan hak-hak masyarakat adat Mollo untuk menentukan nasib diri sendiri.
Keempat, Pemda Tingkat I NTT, DPRD, Pemda Tingkat II TTS, DPRD TTS harap segera menghentikan segala rekayasa dan manipulasi yang dilakukan oleh PT Karya Hasta Alam, dan segera mengganti tuntutan masyarakat akan segala kerugian dan kerusakan akibat dari eksploitasi dan eksplorasi yang sudah dilakukan mulai tahun 1997/1998. Terakhir, agar PT Karya Hasta Alma dan PT Kawan Setia Pramesti segera memberi ganti rugi terhadap segala dampak yang ditimbulkan selama eksploitasi yang dilakukan dan mengembalikan rona kehidupan semula.
G. PENGUATAN (PEMBERDAYAAN) YANG PERNAH
DILAKUKAN
G.1. Penguatan oleh LSM-LSM Setempat
Dengan bantuan dari beberapa teman NGO, kasus penambangan marmer ini memang akhirnya berhenti, investor angkat kaki dari SoE dengan penuh rasa kecewa dan kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Namun disisi lain penyesalan bertubi-tubi mencul dalam benak masyarakat. Dengan perginya investor mereka banyak kehilangan peluang untuk berdagang, Jeruk sebagai hasil unggulan SoE, koran ataupun sekedar menjajakan koran, rokok dan kemasan air mineral. Mereka juga kehilangan kesempatan untuk medapatkan beberapa pekerjaan yang ditawarkan kepada mereka. Kekecewaan terakhir adalah tidak ada tindak lanjut sama sekali dari LSM-LSM yang sudah memberi dukungan dan advokasi pada kasus ini. Pasca kasus gagalnya penambangan marmer di SoE masyarakat ditinggalkan tanpa ada satu solusi yang memberikan pemecahan bagaimana seharusnya masyarakat bertindak lebih lanjut.
Kekecewaan beruntun datang juga dari pemerintah setempat. Pertama, berkaitan dengan masalah kepercayaan yang diberikan investor terhadap pemerintah dan rakyat NTT secara keseluruhan. Kedua, dengan kasus ini sebenarnya dianggap sebagai salah satu terobosan bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan mereka. Apakah rakyat akan dibiarkan melarat, terbelakang dan miskin terus-menerus padahal mereka tidur dalam tumpukan harta karun? Pendapat-pendapat yang ada diatas memang sangat kontroversial, belum lagi jika mendengarkan beberapa keluhan dari investor yang jelas-jelas telah rugi dalam jumlah Rupiah yang tidak sedikit.
Pengabdian terhadap hukum adat dalam perumusan strategi pembangunan, hukum, kebijakan, dan manajemen tanah dan sumber alam disatu pihak serta berkembangnya investasi yang beroriantasi bisnis di pihak lain telah memunculkan ancaman bagi berlanjutnya komunitas lokal yang semakin terpojok dengan kebijakan yang ada. Ekspresi situasi konflik ini pada umumnya bermuara pada melemahnya komunitas lokal. Ini tergantung pada daya adaptasi komunitas. Namun ada suatu model mainstream yang umum dapat dimengerti sebagai suatu skema konseptual yang saling berhubungan antara tiga komponen ini. Setidaknya ada tiga faktor kehancuran hubungan masyarakat adat dengan tanah beserta hasil-hasilnya.
Pertama, Adanya Unifikasi (penyeragaman) konsep penguasaan tanah masyarakat adat yang majemuk dan marginaslisasi posisi hukum adat dan institusi adat serta hak-haknya atas sumber daya agraria. Pembuat UUPA 1960, yang juga dianut oleh Undang-Undang No Kehutanan 1967 dan Undang-Undang No Pertambangan menyakini adanya dua konsep hak tanah yang terdapat dalam masyarakat hukum adat di Indonesia a). Konsep tentang hak ulayat (beschikkingsrecht) yang merupakan hak-hak publik dari persekutuan hukum adat. Konsep kedua b)adalah hak milik adat (Inlands bezitsrecht) yang merupakan hak-hak perdata milik perorangan anggota persekutuan hukum adat yang mereka peroleh melalui tindakan membuka hutan primer. Sedangkan dalam kehidupan nyata di lapangan terdapat keberagaman konsep hak sesuai dengan adat masing-masing.
Keterbatasan pengetahuan mengenai konsep hak tanah ini seringkali membuat banyak kasus tentang tanah adat disamaratakan dengan hak ulayat terhadap semua hak milik bersama. Artinya ladang berpindah, hak atas hutan, perburuan, padang-padang ruang penggembalaan ternak maupun dusun sagu yang sebenarnya menurut tradisi masyarakat setengah dikuasai oleh hak perdata dalam lingkungan kerabat (kerabat unilinial:baik patrilineal maupun matrilineal) sebagai satuan kekeluargaan yang bersifat perdata diperlakukan sama dengan hak ulayat yang merupakan milik publik. Sengaja atau tidak dalam hal ini telah terjadi pencampuradukan yang sangat keliru. Bahkan pemukulrataan hak-hak perdata ini sering dirasa tidak adil.
Akibat sistem hukum agraria nasional yang menganut unifikasi hukum, atau tidak memberi ruang hidup pada pluralisme hukum maka posisi hukum adat dan hak-hak yang terkandung dalam sistem tenurial mereka tetap berada pada posisi yang marginal. Bahkan yang terjadi lebih jauh adalah negasi yang mengahancurkan fondasi keberlanjutan kehidupan budaya-budaya masyarakat setempat. Proses inipun kemudian dipercepat pula dengan pandangan unifikasi yang sama yang dianut dalam lainnya seperti UUP Pemerintahan desa 1979.
Pada proses berikutnya semakin banyak tanah-tanah yang dikuasai oleh negara. Di satu pihak karena hak ulayat dianggap oleh pembuat Undang-Undang dalam hal ini UUPA 1960 sebagau suatu hak publik, yang nilainya dianggap sama dengan milik negara. Sehingga dalam konteks nasional muncul adanya pandangan baru tentang ‘Hak Ulayat Negara. Konsekuensi adanya angapan ini adalah adanya kewenagan yang semua dipegang oleh Kepala-kepala atau pimpinan yang memiliki otoritas dari persekutuan hukum adat dalam mengatur lalu lintas penggunaan tanah hak ulayat untuk kepentingan para anggotanya, otomatis beralih kepada kepala pemerintahan sejak diberlakukannya Undang-Undang ini.
Dampak langsung diberlakukannya undang-undang ini secara yuridis yang kemudian terjadi di lapangan adalah hutan-hutan yang tumbuh atas nama hak ulayat secara otomatis berubah menjadi hutan milik negara. Selanjutnya negaralah yang berkuasa menentukan bagaimana dan kepada siapa akan diserahkan penggunaan hutan Hak Ulayat tersebut? Dengan cara ini pula berarti otonomi dari persekutuan hukum adat telah diakhiri oleh Negara. Dalam banyak kasus Negara justru melenyapkan hak-hak langsung dari anggota masyarakat hukum adat untuk memperoleh hasil-hasil dari hutan hak ulayat tersebut, sekalipun untuk keperluan subsistensi. Dengan lenyapnya otonomi masyarakat adat atas Hak Ulayat,. Mereka kehilangan pengakuan akan budaya dan kehidupan kultural mereka.
Contoh kasus nyata yang terjadi di NTT secara keseluruhan termasuk TTS dan Amarasi adalah kasus ‘Kayu Cendana’. Dalam tulisan sebelumnya telah di catat tentang arti penting kayu cendana dalam perdagangan dunia. Dengan adanya UUPA yang baru maka hutan cendana dan setiap batang yang tumbuh dari pohon itu adalah milik negara. Padahal nilai ekonomis jenis kayu ini sangat tinggi. Dan baru dapat dipetik hasilnya setelah melewati kurun waktu kurang lebih 5 dasawarsa (50 tahun). Dalam periode sebelumnya tidaklah demikian, ada aturan adat yang mengatur permasalahan tentang hutan termasuk pembagiannya atas rakyat yang sudat ditentukan oleh pemangku adat yang biasa disebut dengan Manehole. Dan ada peraturan adat yang sangat dihormati oleh masyarakat adat secara keseluruhan, aturan ini disebut dengan ‘Banu’ diatur dengan jelas bagaimana tata tertib penebangan, penanaman, sampai kepada proses pemetikan buah dan sebagainya.
Namun kondisi Banu berubah sejak kurang lebih tahun 1980-an sejak munculnya perda yang mengatur penguasaan tanah atas hak ulayat oleh negara, dengan perbandingan 20% untuk rakyat dan 80% untuk negara. Aturan ini tentu menimbulkan sentimen dikalangan masyarakat. Masyarakat menjadi apatis terhadap tumbuhnya pohon emas tersebut, bahkan mereka tidak segan-segan mencabut pohon itu sampai ke akar-akarnya ketika pohon itu baru tumbuh dini. Banyak pohon dibakar oleh masyarakat sendiri karena mereka merasa tidak bisa menikmati hasil dari benih yang mereka tanam dengan tetesan keringat. Akibatnya terjadi kelangkaan pohon cendana. Melihat hal ini pemerintah memberi respon sekitar 5 tahun terakhir. Prosentase yang didapat oleh pemerintah dan masyarakat dibalik. Masyarakat mendapat 80% hasil penjualan sedangkakan negara 20%. Sayangnya kebijakan ini baru dibuat setelah Pohon cendana benar-benar langka di pulau Timor.
Dengan semakin banyaknya sentimen yang dilakukan masyarakat terhadap kayu cendana dengan mencabut, mencuri ataupun membakarya maka Bupati Kepala Daerah Tingkat II SoE TTS, dan Kupang mengeluarkan surat keputusan tentang Pengamanan dan pengumpulan kayu Cendana di 2 Kabupaten ini. Untuk itu diputuskan adanya suatu Timor pengamanan/pengumpulan kayu Cendana di Kabupaten, yang tugasnya adalah melakukan pengamanan kayu cendana yang masih tersimpan di tangan masyarakat, melakukan pengendalian dan pengawasan serta penertiban peredaran kayu cendana, memberikan bimbingan, penyuluhan dan motivasi tentang kayu candana kepada masyarakat. Tugas berikutnya adalah menginventarisir masalah yang berkaitan dengan pengumpulan kayu Cendana, dan Melakukan rapat Koordinasi Rutin tentang hasil pengumpulan kayu Cendana.
Strategi penguatan yang telah dilakukan oleh teman-teman LSM dapat dilihat dalam beberapa hal. Pertama, capacity building, hal ini berkaitan dengan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap segala kebijakan publik yang menyangkut kepentingan dan aspirasi masyarakat. Partisispasi berkaitan erat dengan pembukaan ruang publik (public space) yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berbicara.
Kedua, strategi advokasi, yaitu dengan menjadi mitra bagi masyarakat dalam berdiskusi dan pengambilan keputusan bersama. Ini dilakukan dengan memberikan bangunan wacana dan kerangka pikir logis agar masyarakat sadar akan haknya dan bisa membuat bargaining dengan pemerintah. Pembangunan wacana ini dilakukan dengan ‘koran masuk desa’, pemberian buletin serta sosialisasi informasi terbaru tentang perundang-undangan termasuk perubahan struktur pemerintahan dan perkembangan ekonomi nasional. Advokasi dilakukan dengan usaha membangkitkan kembali semangat adat yang selama ini nyaris punah.
Strategi lain yang dilakukan adalah pendekatan terhadap Stake Holder yang ada. Baik itu pemangku adat maupun pemerintah desa dan pejabat pemerintahan. Diskusi dan dialog bersama seringkali memberikan ruang bagi masyarakat untuk bersuara, namun sayangnya provokasi yang berlebihan justru membuat garis batas yang jelas antara pemerintah dengan LSM. Pertentangan dan perbedaan prinsip antara keduanya membuat masyarakat justru semakin tidak faham dengan kondisi riil yang sedang meraka alami. Mereka hanya digunakan sebagai ujung tombak yang seringkali salah sasaran. Hal ini berdampak dengan kurang harmonisnya hubungan sejumlah LSM dengan birokrat pemerintah.
G.2. Penguatan oleh Pemerintah dan Partai Politik
Penguatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat adat, pertama terkait dengan birokrasi dan perubahan perundang-undangan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian proses yang berlangsung tetap membutuhkan waktu yang lama. Misalnya kebijaksanaan pemerintah dalam pengaturan kembali penebangan kayu cendana berikut prosentase pembagian antara masyarakat adat dengan pemerintah.
Kedua, pemberdayaan dilakukan pemerintah dengan memberi kesempatan bagi masyarakat adat untuk berekspresi. Hal ini dilakukan dengan pengangkatan ‘pemangku adat’ dalam setiap wilayah kecamatan dan kabupaten. Harapannya mereka akan dapat menjadi juru bicara yang menyangkut kepentingan masyarakat adat secara keseluruhan. Persoalannya, selama visi dan misi yang dibawa oleh masyarakat sama dengan yang disampaikan kepada pemerintah itu akan sangat baik. Namun jika merekapun akhirnya terkontaminasi dengan sistem birokrasi yang dan tidak dapat membawa kepentingan masyarakat akan jadi permasalahan serius.
Ketiga, pemerintah juga melakukan sosialisasi terhadap sitem perundang-undangan yang baru. Namun sayangnya sosialisasi yang dilakukan boleh dikatakan sangat lambat, dan hanya pada level tertentu. Fetor di Oekebiti misalnya, suatu saat menyampaikan sama sekali tidak tahu isi bahkan warna dari Undang-Undang Otda, sehingga dia takut berkomentar.
Strategi berikutnya adalah dengan pendekatan terhadap masyarakat secara langsung. Pemerintah sengaja membuat rancangan-rancangan program yang melibatkan partisipasi masyarakat bersama termasuk menyediakan komisi khusus untuk bantuan hukum. Jika boleh dinilai diakui oleh banyak Pihak Pemerintah kali ini cukup akomodatif terhadap suara masyarakat.
G.3. Pemberdayaan oleh Komunitas Adat
Pemberdayaan oleh mereka dilakukan dengan pembentukan bersama komunitas adat. Di TTS misalnya ada komunitas adat Mollo, Amanuban ataupun Amanatun. Di Amarazi juga hampir disejumlah tempat semua ada. Dalam persekutuan adat ini mereka merundingkan segala kepentingan mereka yang berkait erat dengan adat. Mulai dari kepentingan uapcara ritual, masalah ekonomi hukum adat sampai dengan kasus-kasus perkawinan. Forum ini biasanya hidup sekali. Masyarakat saling berdiskusi dan memberikan masukan yang baik untuk keputusan bersama.
Hal kedua yang dilakukan adalah dengan ikatan bersama untuk kesenian dan kebudayaan adat. Ini dilakukan dengan pertunjukan seni dan budaya masing-masing daerah Timor. Mulai dari kain tenun, makanan ciri khas, tarian sampai dengan hasil bumi andalan. Setiap komunitas adat biasanya akan dikoordinasi oleh orang yang ‘dituakan oleh masyarakat adat’, komunitas ini biasanya mempunyai waktu-waktu rutin untuk berdiskusi dan berkesenian.
Namun sayangnya komunitas adat ini tidak bisa kembali menguatkan posisi masyarakat adat secara jelas dan tegas. Masyarakat adat seperti telah kehilangan ‘taraing’ untuk menghadapai sistem dan struktur pemerintahan yang ada sekarang. Ketidakberdayaan ini dapat terlihat jelas dengan sikap kepasrahan masyarakat akan hak-haknya yang semakin tidak jelas dan termarginalkan. Kedua, kepasrahan mereka sebenarnya juga didasarkan atas kepercayaan kepada pemerintah yang memberikan segala bentuk janji yang menyangkut kesejahteraan masyarakat. Ketiga, toleransi dan sikap masyarakat Timor yang cenderung tunduk dan taat. Ini terlihat dari setiap respon dan dukungan terhadap program-program pemerintah.
Namun sayangnya sikap pemerintah yang seakan ‘menganaktirikan’ pembangunan di wilayah Indonesia Tiumor kebanyakan membuat kekecewaan yang luar biasa. Mereka merasa apa yang telah dilakukan selama ini tidak ada gunanya, bahkan banyak hak mereka diambil alih oleh pemerintah, sejak saat inilah adat cenderung apatis dan lebih memikirkan kebertahanan dari segi ekonomi yang masih tetap menjadi PR panjang sampai sekarang.
H. REKOMENDASI UNTUK AGENDA PEMBERDAYAAN
KE DEPAN
Dari apa yang sudah disampaikan diatas, kita dapat melihat peta permasalan yang ada. Pertama, marginalisasi masyarakat adat, Ini dapat dilihat dalam beberepa aspek. Yaitu marginalisasi dalam bidang politik, yang ditandai dengan hilangnya kekuasaan adat, melemahnya partisipasi masyarakat dalam sistem pemerintahan yang baru, institusi lokal yang semakin tidak berfungsi, serta hilangnya kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Kedua, marginalisasi masyarakat adat dari aspek sosial budaya, yang ditandai dengan melunturnya budaya adat dengan adanya pengaruh globalisasi dan modernisasi. Namun pengaruh dapat juga kita lihat dari dalam masyarakat adat sendiri (internal) hal ini berkaitan dengan rasa putus asa masyarakat adat terhadap hilangnya basis kekuasaan mereka atas tanah, melemahnya rasa kesukuan, dan keterpurukan ekonomi. Dalam kondisi yang seperti ini masyarakat adat lebih memilih berusaha menjangkau keterpurukan ekonomi ketimbang mempertahankan adat yang memang sudah semakin luntur. Ketiga, keterpurukan ekonomi yang ditandai dengan lemahnya kemampuan adat dalam proses tawar menawar.
Rekomendasi Pemberdayaan yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat meliputi beberapa hal, pertama, Peningkatan partisipasi masyarakat (voice, akses maupun rekomendasi terhadap kebijakan pemerintah). Selama kurun waktu lamanya masyarakat telah terkodifikasi oleh sistem dan aturan yang dibuat oleh negara, karena itu kita dapat berusaha menarik batas antara negara dan masyarakat dengan beberapa cara, pertama, meskipun kekuasaan negara berasal dari masyarakat, negara sendiri merupakan organisasi kekuasaan dengan ciri khas tersendiri. Apa sebabnya? Karena negara memiliki kapasitas untuk menyusun kekuasaan dalam kode dan lembaga yang formal serta melegalkan kekuasaannya. Kedua, kemampuan negara untuk menyeleksi antara beberapa bentuk kekuasaan yang berbeda dan memberikan pengenalan yang legal atas bentuk tersebut dan secara bersamaan kemampuan telah memberikan kepada negara status yang sangat spesifik. Dalam hal ini negara juga mempunyai kekuasaan untuk mengintervensi semua aspek kehidupan sosial. Pada kebanyakan masyarakat, negara adalah final dan akhir dari kekuasaan. Partisipasi masyarakat adalah merupakan salah satu cara penting untuk mencegah campurtangan yang berlebihan dari pemerintah terhadap masyarakat. Tugas ini sebagian sudah dilakukan oleh LSM setempat seperti PIAR (Pusat Informasi Advokasi Rakyat), YASMARA (Yayasan Kesejahteraan Masyarakat), SANLIMA (Yayasan Peduli Sesama), YAO (Yayasan Alfa Omega), LAB Timor (Laboratorium Penelitian Timor). Begitu juga dengan peerintahan yang lebih transparan.
Kedua, adanya dialog antara masyarakat dengan pembuatan kebijakan. Ini perlu dilakukan untuk mencegah setiap kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Missink link yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah selama ini setelah dianalsa hanya disebabkan oleh kurang komunikasi dan penyebaran informasi yang lebih luas setiap kebijakan pemerintah terhadap masyarakat. Akibat buruknya konfrontasi dan saling mencurigai acapkali terjadi anatra masyarakat dengan pemerintah.
Ketiga, adanya advokasi dan tindak lanjut, kenapa hal ini sangat penting. Karena beberapa pekerjaan yang dilakukan oleh teman-teman NGO sebenarnya sudah sangat baik. Mereka melakukan pendampingan dan advokasi setiap waktu. Bahkan tidak jarang lembaga memberikan seorang CO (Community Organizer) untuk mendampingi masyarakat saat menghadapi permasalahan. Tetapi kadang kekecewaan masyarakat adalah saat mereka membutuhkan pemecahan lebih lanjut, namun tidak ada tindak lanjut dari teman-teman NGO dalam memberikan rapid respon pasca pendampingan atau program selesai.
Seorang akademisi mengatakan kekecewaannya. Menurutnya sebenarnya masyarakat NTT secara keseluruhan sangat menerima perubahan yang ada, bukan hanya itu masyarakat sangat mendukung program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sayangnya ada beberapa teman NGO yang sering mempuat situasi menjadi sangat tidak kompromis. Misalnya dalam kasus batu marmer di SoE, masyarakat sebenarnyadlm posisi kebingunan, satu sisi mereka menginginkan adanya perubahan perekonomian dengan adanya perusahaan tambang tersebut. Namun di pihak lain mereka tidak mau tempat ibadah mereka dihancurkan.Situasi ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika ada perundingan ada diskusi.
Ketika masalah SoE rame didiskusikan, banyak sekali NGO yang mengambil peran. Boleh dikatakan kasus tersebut dapat dimenangkan. Namun pasca kejadian sama seklai tidak ada tindak lanjut, sehingga masyarakat tetap saja miskin. Tidak ada peningkatan ekonomi, keadaan tetap buruk terjadi kala itu. Inilah yang membuat masyarakat benar kecewa karena teman-teman NGO tidak memberikan solusi apa selanjutanya yang harus dilakukan oleh masyarakat agar semakin berdaya.
Keempat, peningkatan kesejahteraan ekonomi dengan pembukaan akses pasar. Ini sangat diperlukan karena kebanyakan faktor pengahmbat pemasaran hasil produksi pertanian adalah faktor transportasi. Akibatnya banyak hasil pertanian yang menjadi sasaran pengijon dan tengkulak. Mereka yang punya modal bisa mempermainkan harga. Kehadiran koperasi ternyata tidak mampu membawa dampak serius dalam perubahan perekonomian masyarakat.
Kelima, pendidikan politik untuk masyarakat. Perlunya pendidikan didasarkan akan semakin
kurangnya tingkat partisipasi mereka dalam pemerintahan. Rendahnya partisipasi ini dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang konsep-konsep politik, Undang-Undang No dan beberapa kajian tentang pemerintahan maupun pemberdayaan masyarakat. Seperti yang sudah diungkapkan di depan kondisi ‘desa gata baru’ yang telah merombak struktur adat secara keseluruhan ternyata tidak membawa dampak atau perubahan ke arah kemajuan. Masyarakat desa justru lebih banyak kehilangan haknya.
Sebagai sebuah entitas sosial politik, desa mampu menarik perhatian banyak intelektual untuk melakukan pengamatan bahkan intervensi atas berbagai dinamika yang terjadi. Perbincangan tentang dinamika desa mencuat dan memunculkan perdebatan antar penganut berbagai aliran intelektualitas. Robert H. Bates, salah satu penganut pemikiran ortodoks, mengungkapkan bahwa ternyata teori modernisasi telah gagal menjalankan tugasnya sebagai akar pemikiran sosial dalam memahami realitas politik masyarakat pedesaan. Ungkapan yang dimunculkan pada tahun 1960-an ini telah membuat mereka tersingkir dari perdebatan analisis tentang pembangunan politik di negara agraris. Karena kenyataan yang ada tidak seperti yang mereka bayangkan. Dalam perkembangannya masyarakat desa dan petani bukanlah masyarakat yang pasif. Mereka mampu mengalirkan revolusi dan kekuatan besar dalam masyarakat pedesaan serta menentukan arah perubahan dalam masyarakat.
Seringkali pembicaran tentang desa diidentikan dengan Ketertinggalan. Adanya asumsi konvensional yang mengandaikan masyarakat desa berbeda dengan masyarakat kota, membuat penilaian yang cenderung under estimate terhadap desa. Desa cenderung dianggap sebagai kawasan tertinggal, sekaligus sebagai obyek sejarah, bukan saja dalam pemikiran sosial ekonomi, tetapi juga perjalanan politik mereka. Siapa bilang orang desa tidak paham tentang demokrasi? Siapa bilang orang desa tidak mengerti tentang good governance? Sekalipun semuanya dilakukan tidak secara instan yang jelas mereka siap dengan perubahan itu, dan mau menerima pembaruan.
Dalam konteks Indonesia, pembaruan desa tidak dapat berjalan mulus. Sejarah pembaruan desa tiba-tiba saja terputus dengan terjadinya insiden G 30 S/PKI pada pertengahan 1960-an. Masyarakat dijadikan massa mengambang (floating mass) selama 32 tahun. Partisipasi politik masyarakat desa dimandulkan dan digantikan oleh dominasi elite desa. Partisipasi baru muncul pada masa-masa menjelang pemilu, masyarakat seakan kembali “dikenalkan pada politik” dan partisipasi mereka diarahkan untuk mendukung partai pendukung rezim orde baru. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kesadaran politik masyarakat desa dimatikan oleh pemerintah melalui segala macam program maupun lembaga yang sengaja dibentuk untuk desa. Melalui politik massa mengambang (floating mass), pemerintah telah memperdayakan masyarakat (desa) dengan segala bentuk argumennya. Akibatnya desa menjadi mandul dan tak berdaya.
Jika kondisi ini dibiarkan terus, maka tidak akan ada pembaharuan sejarah dalam perkembangan masyarakat desa. Sadar akan persoalan dan realitas diatas maka menjadi PR untuk IRE dalam kegiatan kedepan. Pertama, berangkat dari asumsi bahwa salah satu faktor penting yang menjadi sumber kemiskinan adalah faktor social construction (sosial struktural) yang ada dalam masyarakat itu sendiri, maka pemberdayaan yang dilakukan berupaya meningkatkan kesadaran kritis atas posisi masyarakat dalam struktur sosial politik. Secara praksis, strategi pemberdayaan ini mengambil cara pembelajaran demokrasi melalui “membuka ruang publik”bagi masyarakat dengan adanya diskusi.
Sebagian besar masyarakat desa memandang pembelajaran demokrasi sebagai barang baru bagi mereka. Walaupun sebenarnya mereka sudah sangat dekat dengan kegiatan tersebut seperti rembug desa, diskusi adat dengan lopo sebagai tempat diskusi dan lain-lain dengan mengambil model deliberative democracy, sebenarnya sudah ada. Namun lama ini dimatikan pemerintah dalam kekuasaan dan kooptasi orba, sehingga demokrasi yang ada dalam pemerintahan orba adalah merupakan konsep democration in forcing (demokrasi dalam tekanan). Disinilah dicoba mengembangkan partisipasi mereka dan penyadaran akan kebutuhan mereka.
Penyadaran dan intervensi untuk pengetahuan politik yang lain dilakukan melalui technical assistant. Serangkaian lokalatih untuk masyarakat desa diadakan dengan kurikulum yang disusun berdasar analisa kebutuhan pembinaan dan lokalatih. Lokalatih diberikan untuk pemdes, BPD, termasuk masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil, dengan harapan mereka dapat mensinergikan harapan dan tujuan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Terakhir agar masyarakat semakin sadar akan kebutuhan mereka. Bagaimana dampaknya terhadap pengelolaan good governance di tingkat desa.
Kedua, kesadaran kritis yang muncul diharapkan membuat masyarakat mampu membuat argumentasi terhadap berbagai macam eksploitasi sekaligus membuat pemutusan terhadap hal tersebut. Pemutusan hubungan yang eksploitatif hanya dapat dilakukan jika ada pembaruan sosial. Artinya membiarkan pemikiran masyarakat muncul, karena ini akan dapat mendorong produktivitas kerja mereka dan upaya reorganisasi.
Upaya ketiga yang dilakukan IRE dalam pemberdayaan masyarakat adalah dengan intervensi logis tentang penegaskan kembali rasa kebersamaan (solidaritas) dalam masyarakat bahwa sebenarnya kemiskinan bukanlah takdir melainkan suatu dampak sosial politik yang sangat kompleks dan multidimensional. Pandangan tentang kemiskinan sedikit banyak dipengaruhi oleh konstruksi sosial, bagaimana sebuah sistem memandang suatu kondisi kesejahteraan dan menentukan standar kemakmuran. Bukan sekedar persoalan kesejahteraan sosial (social well being), kemiskinan berkaitan erat dengan faktor ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan keamanan. Pada tahap ini muncul apa yang dinamakan capacity building (peningkatan kapasitas masyarakat). Kapasitas disini meliputi munculnya ide-ide dari mereka tentang berbagai macam metode pembangunan yang akan mereka lakukan.
Keempat, pengalaman IRE menunjukkan perlu adanya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat desa. Kenapa ini diperlukan? Pertumbuhan desa yang sedemikian cepat tetap tidak bisa menafikan karakteristik sosiokultural masyarakat pedesaan NTT yang masih kental. Di kawasan rural hingga sub-urban, nilai-nilai sosiokultural masih diyakini secara kuat oleh masyarakatnya, yang kemudian dikenal sebagai modal sosial. Ritual-ritual tradisional, bahkan cenderung mistis, masih dijalani, minimal oleh komunitas tertentu dalam masyarakat. Ini yang harus snagat kita hargai dari masyarakat NTT secara keseluruhan. Bagi mereka adat adalah Tuhan dan Tuhan adalah Hidup.
Need Assesment di Nusa Tenggara Timor tepatnya dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Amarasi. Kegiatan ini dilaksanakan tanggal 6 Juni s/d. 15 Juni 2002 oleh 2 orang sraf IRE yakni Mefi Hermawati dan Poppy S. Winanti.
A.G Hadzamawarwit Netti dan Hans Itta, Kupang dari masa ke masa, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II KUPANG, Sulamu, 1997.
Boxer, C.R. Jan KOMPENI, Perang dan Damai 160-1979; Alih bahasa: Bakri Siregar, Sinar Harapan Jakarta, 1985. Fidalgos in The Far East 550-770, The Hague Martinus Nijhof, 948
Fox, James J. Harvest Of the Palm, Havard University Press, Cambridge, Massachusetyts and London, England, l977:6l
Parera, A. D. M. Portugis dan Belanda di Kota Kupang, Naskah l969
Doko, I.H. NUsa Tenggara Timur Dalam Kancah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Masa Baru Bandung, l983.
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, edisi kedua, Yogyakarta; Kanisius, 1992: 78-79
Fernandez SVD, Ozias Stephanus Dr. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, Ledalero,1990:14.
Mboik, S. Larry, Laob Sebagai Cermin Kondisi Permasalahan Agraria Nusa Tenggara Timur, artikel.
Stephanus Ozias, Opcit; 40
Langganan:
Komentar (Atom)